teradesa.com. Pagi ini aku mengikuti pengajian rutin bakda shubuh di masjid samping rumah, masjid al-Huda. Rasanya sudah lama tidak mengikuti kuliah shubuh. Sejak cobaan demi cobaan yang kurasakan bertubi-tubi. Aku belum berani ke masjid. Aku harus menghindari keramaian, dan tempat-tempat umum.
Kuliah shubuh dilakukan setiap Ahad Kliwon, diasuh oleh K.H. Bukhori Pengasuh Pondok Pesantren Salaf al-Falah 71. Pagi ini beliau membacakan kitab tafsir, khususnya surat Az-Zaariyat/51: 15-18. Masjid tampah penuh, baik jamaah laki-laki maupun perempuan. Tentu, yang paling banyak jamaah perempuan.
Jamaah pengajian ini banyak juga yang datang dari luar Desa dan Kecamatan sebelah. Maklum, K.H. Bukhori termasuk Kyai yang sangat disegani ilmu dan kewibawaannya. Tua-muda, laki-laki-perempuan husu’ menyimak. Tetapi, juga ada beberapa jamaah yang tampak ngantuk.
“Kehidupan dunia itu ibaratnya orang yang sedang bermimpi. Meskipun terasa panjang dan dapat melakukan apa saja (dalam mimpi itu). Tetapi jika dibandingkan dengan waktu sehari-hari kita—saat terjaga. Maka, masih sangat panjang waktu terjaga kita. Hidup di dunia ibaratnya mimpi, sedangkan kehidupan akhirat ibaratnya waktu terjaga kita—itu waktu atau kehidupan yang kekal”. Papar K.H. Bukhori.
“Bagi orang yang bertaqwa akan mendapat balasan Syurga. Kebiasaan mereka (muttaqin) adalah melakukan tiga hal utama. Pertama, selalu berbuat baik (mukhsinin). Kedua, diwaktu malam tidurnya sedikit. Waktu lainnya digunakan untuk sholat tahajud, hajat, dan taubat. Ketiga, banyak membaca/mengucapkan istighfar”. Lebih lanjut K.H. Bukhori menjelaskan.
—————————————
Aku mendapat pesan singkat dari Mapolres agar jam 9 untuk menandatangani surat pemanggilan Bu Fransisca sebagai saksi kasus yang menimpa Citraga, yang dikenalkan Bu Frnasisca kepadaku sebagai adiknya tempo hari. Aku segera bersiap-siap ke Mapolres.
Bu Fransisca didalam surat tersebut dianggap sebagai orang yang sangat tahu tentang Citraga dan terlibat dalam modus pembelian tanahku di Sumberarum. Setelah aku kembali dari Mapolres, bu Fransisca mengirim pesan singkat agar aku bersedia menolongnya, tidak jadi tersangka dalam kasus Citraga.
“Mbak Mimin, tolong bantu saya untuk membatalkan kepolisian memanggilku sebagai saksi. Aku merasa jika nanti dalam pemeriksaan itu, saya langsung dinyatakan sebagai tersangka, seperti Citraga”. Pintanya Bu Fransisca kepadaku dengan penuh harap.
Aku bimbang, dalam pikiranku berkecamuk antara menolong Bu Fransisca dan membiarkannya dia menghadapi kasus akibat ulahnya sendiri. Tetapi aku tidak tega, karena aku mengenalnya selama ini sebagai notaris keluarga sejak almarhum bapak. Aku sangat ingin menolongnya.
“Jika mbak Mimin mau menolong Bu Fransisca dari tuduhan ini, maka kedepan mbak sendiri yang akan menanggung beragam ancaman dan intimidasi dari orang-orangnya Bu Fransisca. Saya tahu betul dunia mafia. Tidak mengenal perasaan dan kemanusiaan”. Penjelasan adikku, Andika tentang kebimbanganku itu.
Aku semakin bingung. Di satu sisi aku ingin berbuat baik, menolong Bu Fransisca, tetapi di sisi lain adikku mencegah. Selama ini dia-lah yang banyak membantuku. Dan, dia sangat faham dunia mafia. Aku maklum itu, tetapi keinginanku untuk menolong bu Fransisca semakin kuat.
“Ya sudah, jika mbak mau menolong membatalkan pemanggilan Bu Fransisca tidak apa-apa, silahkan! Tetapi, jika nanti dia semakin berulah sampai lebih jauh terhadap mbak, saya tidak mau ikut campur”. Andika marah, sambil menutup telp-nya.
Sejak ke rumah beberapa hari lalu. Aku tidak bertemu lagi dengan Bu Fransisca. Dia menjadi buronan polisi. Beberapa pekan kantor notarisnya juga tutup. Bahkan, terakhir ditutup paksa oleh polisi dan diberi tanda penyegelan secara resmi kepolisian.
“Mbak Mimin jika tidak mau menolong dan membatalkan pemanggilan ke kantor polisi, maka saya lebih baik bunuh diri saja”. Permintaan dan ancaman dari Bu Fransisca melalui pesan singkat yang kuterima di HP.
Aku marasa sangat dillematis. Aku menangis. Ingin sekali aku bebas dari semua persoalan yang tiba-tiba terjadi dalam hidupku. Ini, masalah yang bagiku tidak masuk akal. Mengapa tiba-tiba menderaku. Apa salahku? Aku juga baru tahu tentang tanah di Sumberarum itu. Apa karena tanah itu?
Sambil sesenggukan aku menuju Mapolres untuk meminta kepada kepolisian membatalkan pemanggilan dan mentersangkakan bu Fransisca. Aku betul-betul ingin merdeka, bebas dari deru derasnya masalah dan ancaman pembunuhan ini setiap hari.
Bismillah, dengan prasangka baikku ini. Aku ingin berbuat baik, sebagaimana dijelaskan K.H. Bukhori pagi tadi. Tentu, harapannya adalah aku terbebas dari semua ini. Aku betul-betul ingin menjadi manusia merdeka. Sehingga bisa mengerjakan pesenan bakpia lagi.
#9 cerbung, by Cak Nur