teradesa.com. Haji merupakan rukun Islam yang ke lima (terakhir). Orang Islam belum bisa dimaknai sebagai muslim sesungguhnya jika belum berhaji. Islam mengajarkan hendaknya orang yang sudah mampu untuk melaksanakan haji, bahkan ia tidak berhak syurga jika belum melaksanakan haji. Allah swt mewajibkan kepada setiap muslim yang mampu (isthitho’ah) lahir-bathin untuk menunaikan ibadah haji, “mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah swt, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS al-Imran/3: 97).
Memenuhi panggilan Nabi Ibrahim a.s, “dan serulah manusia untuk berhaji, mereka datang dengan berjalan kaki, dan sebagian lagi menunggang unta, mereka datang dari tempat yang jauh” (QS. al-Hajj: 27). Pada ayat tersebut, Allah swt memerintahkan kepada Nabi Ibrahim a.s untuk menyeru kepada umat manusia menunaikan ibadah haji, dan Allah swt yang akan menyampaikan (memperdengarkan kepada umat manusia). Berdasarkan ayat ini pula sebagian mufassir berpandangan bahwa haji adalah panggilan dari Allah swt secara langsung untuk menjadi tamu-tamu-Nya.
Tidak semua orang yang mampu bersedia menunaikan ibadah haji. Inilah hikmah, anugrah dan nikmat yang diberikan oleh Allah swt kepada invidu-individu yang terpilih untuk menunaikan ibadah haji. Ada beberapa hal yang membuat individu manusia semangat dalam menunaikan ibadah haji, diantaranya adalah; mendapat ampunan semua dosa, janji mendapatkan kenikmatan syurga, mendapatkan imbalan seperti jihad di jalan Allah swt atas harta benda yang di belanjakannya, dapat menyaksikan langsung baitullah dan masjidil haram, mendapatkan pahala berlimpah.
Ibadah di kedua masjid haromain yaitu mendapat pahala 100.000 untuk sholat di masjidil haram dan 1.000 sholat di masjid Nabawi. Sebagian besar muslim mengharapkan, memimpikan, dan berkeinginan untuk dapat menunaikan ibadah haji. Karena itu berbagai cara yang halal dilakukan; ada yang menabung, pinjam dana talangan, menjual sawah/kebun, hutang dan sebagainya. Mereka meyakini bahwa harta benda sebagai alat untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah swt dan menyempurnakan keberislamannya.
Haji merupakan kesempurnaan memasrahkan diri terhadap Allah swt. Pasrah secara jasmaniah dan ruhaniah. Ia menyadari bahwa dirinya adalah milik Allah swt. Harta benda yang dimiliki adalah pinjaman Allah swt. Jabatan dan kekuasaan yang dimiliki adalah amanah Allah swt. Keluarga yang bersamanya adalah milik Allah swt. Thowaf mengelilingi baitullah adalah ikhtiar mendekati Allah swt, mengagungkan, mentauhidkan seraya menghambakan diri hanya kepada Allah swt.
Allah swt adalah pemilik keagungan, penguasa alam jagad raya, pemberi rahmah bagi seluruh alam semesta dan isinya, pemberi gembira, hakim yang adil. Karenanya hamba seharusnya hanya berserah diri kepada-Nya. Keyakinan demikian diperlukan, selain tidak hanya untuk menguatkan kelemahan kemanusiaan tetapi juga diperlukan untuk meneguhkan keyakinan, ketaqwaan dan ketawakkalan kita. Sehingga menjadi sumber energi untuk mengikhtiarkan kebaikan-kebaikan di dunia dan akhirat.
Peran dalam mewujudkan kebaikan tidak hanya berlaku selama melaksanakan haji, tetapi juga kebaikan perilaku setelah menunaikan haji. Menurut Syech Abdul Qodir al-Jaelani dalam menafsirkan QS. al-Baqarah/2: 197-203, bahwa haji diibaratkan sebagai kematian kehendak (al-Maut al-Irâdiy) sehingga memetamorfosis menjadi kehidupan hakiki (al-Hayâh al-Haqîqiyyah). Ia menyebutnya sebagai ciri-ciri kehidupan biasa (al-Hayâh ath-Thabî’iyyah).
Individu muslim yang ingin mencapai haji dan kehidupan sejati. Maka hendaknya terlebih dulu mematikan dirinya dari segala hal yang berhubungan dengan kehidupan biasa yang merupakan pinjaman Allah swt yang tidak abadi. Tujuannya adalah untuk mencapai kehidupan hakiki yang azali (al-Hayâh al-Haqîqiyyah al-Azaliyyah) yang baka, abadi, dan kekal. Hal ini memang cukup sulit, kecuali hanya dengan cara bersikap keluar dari berbagai konsekuensi akal indrawiyah yang bercampur dengan khayalan dan ilusi yang tiada batas.
Hakikat haji demikian tidak dapat dicapai kecuali hanya oleh hamba yang shalih. Ahli ibadah, membersihkan diri dari semua penyakit hati. Secara bertahap dan meningkat dari satu alam ke alam lain. Sampai akhirnya, ia berada di maqam dan martabah yang merangkum semua martabah lainnya di sisi Allah swt. Dalam kondisi seperti ini maka semua alam menjadi fana`, sebagaimana hamba juga ikut fana` di situ.
Ia tidak akan jatuh sama sekali dari ketinggian itu. Bahkan tersuruk, ia justru akan teguh, kukuh, dan tenang di situ. Sebagaimana kita melihat jiwa-jiwa seperti itu penuh harap untuk mencapai maqam tersebut seiring bergantinya zaman. Allah swt selalu mengulurkan bayangan-Nya yang Mahatinggi kepada para ahli yakin dan makrifat (Irfan). Misteri dibalik asma Allah swt sebagaiman misteri Dia itu sendiri, haihata haihata, kita tak mungkin bisa bahkan sekedar untuk membicarakannya. Semoga Allah swt menjadikan kita semua sebagai pelayan di hamparan debu “kaki-Nya.” Cak Nur