Mengkapitalisasi

teradesa.com. Semua orang pada hakikatnya melakukan kapitalisasi potensi untuk menghasilkan keuntungan. Kapitalisasi merupakan usaha memanfaatkan semua modal untuk diproses dan dishare sehingga menghasilkan keuntungan material maupun non-material. Politisi, pengusaha, agamawan, pegawai/karyawan, juga petani—mereka selalu melakukan kapitalisasi. Bahkan anak-anak dan remaja-pun melakukan kapitalisasi.

Ada banyak ragam sumber kapitalisasi yang dapat dikategorikan menjadi dua. Pertama, bersumber dari internal diri, misalnya suara, kalimat, gerak, ketrampilan, dan kemampuan membangun jaringan. Kedua, bersumber dari eksternal diri, misalnya lingkungan sosial, alam semesta, paguyuban, komunitas hobi dan minat, organisasi sosial dan/atau keagamaan. Optimalisasi potensi internal dengan potensi eksternal akan menghasilkan keuntungan yang lebih extensive.

Para politisi, agamawan, dan motivator biasanya mengkapitalisasi massa melalui cetakan kalimat-kalimat yang menghiptonis sehingga mereka bersedia menjadi bagian dari gerbong atau konsep berfikirnya. Perkumpulan massa inilah yang kemudian dapat dikapitalisasi menjadi pundi-pundi material dan/atau non-material. Massa bagi para kapitalis kategori ini adalah sumber (sawah/ladang), karenanya mereka akan selalu dirawat dengan beragam program, kegiatan dan susunan kalimat yang memukau.

Pebisnis mengkapitalisasi sumber-sumber keyaan alam semesta atau sosial untuk diakomodir, diolah, dan di-share sehingga menghasilkan keuntungan. Mereka tidak berkuasa atas kekayaan alam, hanya pemerintah yang memiliki hak. Oleh karena itu, para pebisnis ini menggandeng penguasa untuk berbagi hak penguasaan sumber kekayaan alam untuk diolah. Dan tentu, ujung-ujungnya sharing keuntungan. Jika sharing keuntungan untuk pendapatan negara, no problem. Tapi jika ada fee diluar aturan formal, ini yang bermasalah.

Para seniman, arsitektur, dan desainer  mengkapitalisasi potensi diri non fisiknya, terutama dibidang estetika sehingga mampu mengumpulkan kekaguman dan ketertarikan orang banyak. Kumpulan para pengagum (fans) baginya adalah sumber kapital yang harus terus dirawat sehingga ia tetap bisa eksis dalam beberapa dekade. Sekuat tenaga, dengan berbagai cara mereka harus selalu tampil optimal dihadapan publik, meski kadang tidak sesuai dengan suasana hatinya.

Guru dan pendidik mengkapitalisasi kemampuan konsep dan teori untuk melakukan perubahan perilaku anak didik. Perubahan perilaku adalah tujuan utama dalam pembelajaran. Perubahan perilaku selalu dimulai dari perubahan pengetahuan dan sikap. Hasil dari perubahan tersebut diharapkan berdampak pada perubahan kondisi keluarga dan lingkungan sosial masyarakatnya dikemudian hari.

Para petani dan nelayan mengkapitalisasi potensi alam secara mandiri tanpa campur tangan penguasa. Mereka bekerja dan menghasilkan produk-produk pertanian dan nelayan. Kelompok ini selalu tersubordinasi oleh para pedagang dan penguasa market lainnya. Biasanya petani dan nelayan selalu tidak berdaya berhadapan langsung maupun tidak langsung dengan pedagangan. Apalagi jika pedagang mendapat sokongan penuh dari pemerintah. Mereka memiliki kuasa memproduksi, tetapi lemah dalam pemasaran produknya.

Inilah hukum alam (sunnatullah), semua saling mengkapitalisasi untuk mempertahankan eksistensi masing-masing. Semua saling mencari manfaat dan keuntungan. Jika kapitalisasi ini dilakukan secara jujur dan tidak mengkooptasi satu dari lainnya, maka proses akan berjalan sesuai sunnatullah. Tetapi, jika sebaliknya maka proses itu akan saling menciderai dan melahirkan patologi sosial. Lihat, lingkungan alam semesta itu saling mengkapitalisasi sesuai sunnatullah, maka ia tidak menimbulkan masalah. Terjadi masalah jika manusia telah merusaknya

Teknologi diperlukan agar proses kapitalisasi dapat berjalan secara lebih efektif dan efisien. Sebelum ditemukan mesin industri, pengelolaan sumber daya alam dilakukan secara manual. Tentu, hal demikian berbeda hasilnya dibandingkan setelah ditemuka mesin industri. Pergerakan manusia dari tempat satu ke tempat lainnya berbeda dibandingkan sebelum dan sesudah ditemukan kendaraan bermotor. Hubungan antara individu dengan individu lainnya atau kelompok dengan kelompok intensitasnya berbeda antara sebelum dengan sesudah ditemukan alat komunikasi dan informasi modern.

Di sudut lain, temuan teknologi komunikasi dan informasi modern ini berdampak mengaburkan ruang sakral dan profan. Menyatukan ruang privat dan ruang publik, dan mengintegrasikan kegiatan antar komunitas masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang sebelumnya merupakan ruang sakral dan privat dengan mudahnya dipertontongkan dan diprofankan. Tidak sulit sekarang kita menemukan ritual keagamaan yang seharusnya merupakan hubungan privat  antara individu dengan Tuhannya dipublikasikan. Ritual keagamaan seharusnya sebagai hubungan sakral yang khusu’ menjadi profan yang hambar.

Kapitalisasi kegiatan-kegiatan yang dulu merupakan privat, sakral, dan intensive sekarang diprofankan. Atau dengan kata lain definisi sakral dan profan sebagaimana didefinisikan oleh Durkheim secara obviosly sekarang menjadi kabur. Para politisi, agamawan, dan sosialis  dengan mudahnya mempertontonkan kegiatan “sedekah politik” diruang publik. Tempat-tempat ibadah yang sakral direduksi kedalam gadget. Kitab-kitab suci agama dilempit kedalam android, oleh karenanya ia tidak lagi sakral.

Itulah kapitalisasi gaya baru. Semua orang dapat mengkapital potensi yang dimiliki dipadu dengan kecanggihan teknologi informasi. Sehingga setiap orang dengan mudahnya  dapat memproduksi, mengedit, dan mempublikasikannya. Tidak lain, tujuan utamanya adalah untuk membranding diri dan kelompok agar menimbulkan ketertarikan publik. Tidak peduli hal tersebut seharusnya sakral atau profan. Keduanya menyatu kedalam obsesi ketenaran dan penghormatan relatif.

Nur Kholis (LSP Community)

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top