teradesa.com. Pekan ini sedang viral “guyonan” sang kyai, yang menjadikan pedagang es teh, pak Sunhaji sebagai obyek [Magelang]. Bahkan sang kyai menggunakan kata-kata sarkasme didepan publik. Semua pendengar, bahkan orang-orang di belakang Kyai di atas panggung-pun ikut terpingkal-terpingkal. Mereka puas “merendahkan” sang penjual es teh didepan banyak orang. Saya kira ini menarik untuk direnungkan bersama.

Sebelumnya, juga terjadi hal serupa, penjual minuman mengalami kekerasan verbal pada saat pengajian di Blitar. Bentuk, respon orang-orang yang “menguasai” panggung memang berbeda-beda. Penyanyi Sailindri misalnya, ia tidak marah tetapi justru memborong dagangan penjual minuman keliling di depan panggung, saat dia menyanyi. Sementara, Ustad Abdul Shomad (UAS) juga membeli semua dagangannya pedagang minuman.

Bullying memang sering terjadi pada orang-orang yang lemah, baik secara fisik, finansial, struktur, dan politis. Bullying dan kekerasan bisa dalam bentuk fisik, verbal, dan seksual. Orang-orang yang lemah adalah kelompok orang dalam masyarakat yang tidak memiliki kekuatan (powerless), mereka hanya bisa pasrah dan paling banter, misoh-misoh, marah dan jengkel. Kelompok ini hanya menjadi obyek dan penonton terhadap apapun yang terjadi.

Fenomena yang dialami Pak Sunhaji menggambarkan apa yang disebut sebagai dinamika ketidakadilan sosial dalam masyarakat. Menurut teori interaksionis simbolik dari Mead, tindakan bullying dalam konteks ini berakar dari simbol dan makna yang dikonstruksi secara sosial. Kyai yang memiliki “otoritas” memanfaatkan kekuatan simbolisnya untuk mengecilkan individu lainnya. Interaksi ini menciptakan hierarki sosial yang semakin menindas pada kelompok-kelompok rentan di masyarakat.

Sikap mengejek (sarkastik) terhadap kelompok rentan seperti Pak Sunhaji mencerminkan ketidaksensitifan [tidak adanya empati] terhadap individu lainnya. Menurut Foucault dalam teori kekuasaannya menjelaskan bahwa kekuatan sering kali diwujudkan melalui wacana, dalam hal ini guyonan yang merendahkan. Guyonan tersebut tidak hanya mempermalukan individu, tetapi juga mengokohkan struktur sosial yang diskriminatif, di mana kelompok “kuat” mempertegas dominasi mereka atas kelompok “lemah” lainnya.

Kebiasaan semacam kasus ini tidak bisa diabaikan. Bullying berbasis guyonan sering diterima sebagai bagian dari humor dalam budaya masyarakat paternalis di Indonesia. Namun, humor semacam ini, menurut teori kritik Habermas, justru menjadi alat ideologis yang menormalisasi ketidakadilan. Dalam masyarakat yang berorientasi hierarki, candaan sering dijadikan alat untuk memperkuat stratifikasi sosial tanpa disadari.

Pengalaman pak Sunhaji ini, juga mengingatkan tentang pentingnya solidaritas dan empati sosial. Durkheim menekankan bahwa solidaritas mekanis di masyarakat tradisional seharusnya mampu melindungi individu lainnya. Namun, jika norma kolektif gagal mendorong penghargaan terhadap individu tertentu, maka struktur sosial menjadi rapuh dan rawan konflik atau minimal kegaduhan di masyarakat, seperti dalam peristiwa ini.

Selain itu, kasus ini menunjukkan bagaimana kemiskinan memperbesar kerentanan seseorang terhadap perlakuan diskriminatif. Menurut teori intersectionality dari Crenshaw bahwa kombinasi status sosial yang rendah dan faktor ekonomi membuat individu lebih sering menjadi obyek. Ketimpangan ini diperparah oleh lemahnya kesadaran kolektif di masyarakat tentang pentingnya menghormati martabat orang lain.

Fenomena demikian menunjukkan tidak adanya perlindungan terhadap kelompok yang lemah, seperti; perempuan, anak-anak, dan kelompok miskin lainnya. Misalnya, anak-anak dari keluarga tidak mampu sering mengalami bullying di sekolah. Sistem sosial seperti keluarga, sekolah, dan komunitas pengajian, misalnya perlu didorong untuk bersama-sama mengurangi dampak negatifnya, dan tetap menjadi teladan yang baik.

Penulis hanya ingin mengakhiri tulisan ringan ini dengan menukilkan satu bait karya Jalaludin Rumi, sebagai bahan renungan kita bersama dalam menjadi manusia yang bermanusiawi. “[Aku melihat di setiap hati ada cahaya cinta], [Mencintai makhluk adalah jembatan menuju Sang Pencipta], [Kasihilah yang ada di bumi, niscaya langit mengasihimu], [Karena cinta adalah napas jiwa yang abadi]”. Cak Nur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top