teradesa.com. Setiap individu yang terlahir diberi potensi oleh Allah swt untuk menjadi manusia (to be human). Memang secara badani, individu adalah manusia, tetapi secara ruhani dan akspresinya dalam kehidupan sosialnya belum tentu sepenuhnya telah mencerminkan diri sebagai manusia. Kemanusiaan bukanlah sesuatu yang statis, tetapi ia adalah akumulatif dan dinamis dari keseluruhan cara diri mengembangkan potensi diri dan respon-responya terhadap dinamika dunia eksternalnya. Karenanya, dalam QS. al-Baqarah/02: 30, Allah swt menyebut dengan kata jā‘ilun, bukan khalaqa.
Ukuran kemanusiaan seseorang adalah keberbudayaannya. Budaya selalu bersumber dari kedalaman spiritual seseorang. Agama dan kepercayaan apapun seseorang yang berkebudayaan selalu terpaut dengan kebaikan, keindahan, dan berkecenderungan terhadap kebenaran/al-haniif (QS. al-Ruum/30: 30). Pikiran, sikap, dan perilaku seseorang yang tidak sesuai dengan ketiga aspek budaya di atas menjadikan seseorang tercerabut dari konsepsi kemanusiaannya. Betatapun ia beragama, jika tidak berkebudayaan maka bukanlah kesejatian manusia beragama. Dengan demikian, agama dan budaya merupakan makna kesatuan untuk menjadikan seseorang menjadi manusia sejati.
Pada titik inilah, mengapa selama ini kategori agama ada dua, yaitu; agama samawi dan agama ardli. Meskipun, sebetulnya penulis kurang sependapat. Karena agama sejatinya adalah yang terwahyukan dari Tuhan. Sementara, kebaikan, keindahan dan kebenaran yang bersumber dari konsepsi manusia adalah budaya, bukan agama. Budaya merupakan pengejawantahan pemaknaan konsep kebaikan, keindahan dan kebenaran yang diajarkan oleh Tuhan. Atau dengan kata lain, budaya adalah konsepsi terdalam dan kebersadaran spiritualitas seseorang, yang tercermin dalam cara berikir, bersikap, dan berperilaku.
Agama mengajarkan tentang kebaikan, keindahan, dan kebenaran. Dan, karena memang ia bersumber dari zdat yang Maha benar, Maha Indah, dan Maha Baik. Begitu halnya dengan budaya, ia mengajarkan tentang kebaikan, keindahan, dan kebenaran. Begitulah, sehingga kita mengenal dan memahami kebaikan, keindahan dan kebenaran adalah sebagai nilai-nilai universal. Karena memang didalam agama dan kepercayaan apapun mengajarkan hal demikian. Perbedaannya hanya terletak pada sifat ketiganya. Kebaikan, keindahan dan kebenaran yang bersumber dari agama bersifat mutlak. Sedangkan yang bersumber dari budaya dan kepercayaan adalah relatif.
Tugas setiap individu seseorang adalah terus menerus mengejar dan mengupayakan dengan sungguh-sungguh untuk berbudaya. Karena sejatinya budaya adalah akumulatif dan dinamis. Keberbudayaan manusia selalu berhimpitan dan berdesakan dengan nilai-nilai lainnya, misalnya liberalisme, hidoneisme, materialisme, sosialisme, moderinisme dan pandangan-pandangan keduniawian lainnya yang dapat menggerus keberbudayaan-kemanusiaan manusia. Bahkan kesombongan (ego), dan stigma telah mampu mencerai-beraikan kesejatian manusia atau keberbudayaan. Ketidakberbudayaan, selain dapat menggerus kemanusiaan, juga mampu melahirkan kekacauan zaman.
Budaya memang tidak boleh berada diruang kedap budaya-budaya lainnya. Ia mesti berakulturasi dengan budaya mutakhir lainnya. Menjadi indah jika budaya bergerak dari lokalistik dan secara alami saling menyerap dengan kebaikan, keindahan, dan kebenaran budaya lainnya. Begitulah dinamika budaya harus tetap terjaga nilai-nilai luhurnya. Liberalisme, hidoneisme, materialisme, sosialisme, moderinisme dan lainnya bukanlah momok budaya lokal, tetapi proses adaptasi, seleksi, dan kontruksi perlu dilakukan sehingga tetap melahirkan manusia berkebudayaan. Misalnya jangan sampai sifat materialisme menggerus dan mencerai-beraikan jisim dan ruh manusia—membentuk manusia hedon dan egois.
Sudah saatnya kita semua memiliki kesadaran kolektif dengan meletakkan budaya sebagai wadah persemaian seluruh aspek kehidupan bangsa. Baik aspek politik, ekonomi, sosial, hukum, bahkan maupun agama dan seni itu sendiri. Agama dan aspek lainnya tadi sudah seharusnya kita kembangkan yang ramah budaya. Misalnya agama untuk manusia, politk untuk manusia, hukum untuk manusia—yang memiliki kesetiaan pada moralitas, kebaikan, keindahan, dan kebenaran. Bukan, misalnya beragama disertai penindasan terhadap agama-agama dan kepercayaan lainnya. Beragama seharusnya melahirkan kelenturan, bukan justru melahirkan sikap sangar atas nama agama.
Beropilitik bukan semata untuk menang-menangan dan menguasai lainnya, tetapi kekuasaan itu harus mampu menghadirkan kebaikan bagi lainnya. Hukum bukan diciptakan sebagai instrument penindasan bagi yang lemah, tetapi seharusnya hukum mampu menghadirkan kelegaan, kebenaran dan keadilan bagi yang lemah. Ekonomi bukanlah alat teoritik untuk dipraktikkan dalam penguasaan atas sumber kekayaan umum untuk diri sendiri dan kelompok, tetapi teori yang didedikasikan untuk membangun kebersahajahan dan kesejahteraan bagi semua secara proporsioal berkeadilan. Dan, seni bukanlah media untuk mempertontokan keindahan jisimiah individu dan alam semesta, tetapi ia hendaknya dihadirkan untuk menciptakan rasa keberindahan spiritalitas untuk melahirkan manusia berasa. Cak Nur