teradesa.com. Puncak peradaban adalah ketika manusia mampu memvisualisasi imajinasinya ke dalam konteks hidup kesehariannya. Dengan memanfaatkan potensi kreatifitasnya manusia mampu memproduksi ribuan imajinasi dalam sehari. Tetapi tidak semua hasil imajinasi berdampak positif bagi proses membangun perdaban. Karena imajinasi bebas nilai, liar, dan hanya pemilik imajinasi itulah yang dapat mengontrol sesuai dengan tujuannya.
Imajinasi hasil dari pikiran yang superkreatif, maka kadang hasilnya lebih indah dari hakikat eksistensinya. Bangunan rumah, misalnya yang dihasilkan dari proses imajinatif kadang keindahan dan kenyamanannya melebihi dari yang terbayang sebelumnya. Karena itu kebanyakan manusia lebih menyukai imajinatif ketimbang adanya (realisasi) dan tujuan keberadaan rumah tersebut.
Imajinasi akhirnya merupakan sistem simbol yang dibangun manusia untuk menggambarkan eksistensinya, diantara eksistensi-eksistensi manusia lainnya. Sistem simbol merupakan cara yang digunakan oleh manusia untuk menunjukkan identitas. Identitas mudah dikenali dalam bentuk fisik. Karena memang yang dapat mengenali pertama kali suatu identitas tertentu adalah alat indra manusia, yang biasanya disebut dengan sistem reseptor.
Problemnya adalah terletak pada berhentinya kekaguman manusia hanya dengan menerima simbol-simbol yang ada disekitarnya. Padahal simbol-simbol itu tidak selalu mencerminkan fakta riil. Dipihak lain, manusia selalu disibukkan dengan bagaimana membangun simbol-simbol.
Dalam konteks kehidupan, bentuk simbol cukup beragam; 1). Ada yang berbentuk manusia seperti orang tua, istri/suami, dan anak. 2). Berbentuk komunitas seperti keluarga, kekerabatan, kelompok bermain. 3). Komunitas hoby dan pekerjaan seperti asosiasi kerja, komunitas mengisi waktu luang, perusahaan, dll. 4). Berbentuk kepemilikan fisik seperti rumah, kendaraan, tanah, alat komunikasi, dll.
Kesalahan sistem reseptor dalam memahami fenomena disekitar adalah yang hanya silau terhadap simbol-simbol. Simbol inilah yang kemudian melahirkan kesalahan dalam membangun interpretasi, yang bermuara pada kesalahan sistem efektornya.
Sistem efektor merupakan penggerak yang mewujud dalam perilaku pengaguman manusia yang berlebihan terhadap produk imajinatif (simbol-simbol) di sekitarnya. Inilah gejala umum yang nampak di era puncak peradaban manusia saat ini, yaitu; yang penulis sebut sebagai gejala 8-3 = 0.
“Katakanlah, Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah swt dan Rasulnya serta berjihad di jalan Allah swt, maka tunggulah sampai Allah swt memberikan keputusanNya. Dan Allah swt tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik” (QS al-Taubah/9: 24).
Delapan hal yakni; bapak, anak, saudara, istri, keluarga, harta, bisnis, dan rumah (BASIKHBR) yang sering melupakan manusia terhadap tiga hal, yakni; Allah, Rasul dan Jihad (ARJ). Panggilan sholat tidak menghentikan kesibukannya bekerja. Padatnya jadwal kegiatan melupakan untuk melakukan sholah dluha, sholat sunnah rowatib.
Kecintaan terhadap anak dan istri meniadakan waktu untuk melaksanakan Sholat tahajud. Kebanyakan manusia sibuk membangun usaha yang kadang justru melupakan menggunakan cara-cara yang diridloi Allah. Menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan bisnis dan karier, tidak menimbulkan efek takut terhadap Tuhan.
Fenomena mutakhir menunjukkan bahwa manusia lebih mencintai dunia dan semua hal yang terkait dengannya ketimbang menuntut ilmu. Bersedekah tapi dipublikasikan. Membangun masjid tetapi tidak merawat atau mengisi kegiatannya. Tidak istiqomah dalam sholat berjamaah. Enggan merawat dan/atau mendidik anak yatim, dan lainnya. Kehidupan dunia dan segala gemerlapnya lebih menarik, lebih indah, dan lebih digemari ketimbang mendekatkan diri kepada Allah swt.
Al-Qur’an menggambarkan orang-orang demikian dengan sangat baik, yakni “Perumpamaan mereka seperti orang-orang yang menyalakan api, setelah menerangi sekelilingnya, Allah swt melenyapkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat”. (QS al- Baqarah/2: 17).
Kita lebih menyukai simbol ketimbang substansi. Lebih menyukai wadah ketimbang isinya. Lebih suka membangun ketimbang mengisi. Lebih suka semua hal yang terlihat ketimbang yang tidak terlihat. Dan, lebih mendahulukan semua hal yang bersifat indrawiyah ketimbang bathiniyah.
Allah swt adalah dzat yang tidak terlihat oleh indrawiyah. Ia juga tidak mengutamakan hal yang bersifat jasmaniyah. Semua hal yang bersifat indrawiyah dan jasmaniyah terbatas oleh waktu, tempat dan pasti bersifat relatif. Relatifitas adalah sifat keterbatasan semua hal yang fana’; manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, alam semesta.
Keindahan alam semesta adalah terbatas. Kecantikan manusia adalah relatif. Keperkasaan hewan adalah terbatas. Dan, kenikmatan hewan-hewan juga terbatas. Yang abadi hanyalah Allah swt. Maka mengejar yang abadi adalah lebih niscaya (harus) dari pada mengejar semua hal yang fana’. Karena sejatinya semua yang fana’ adalah fatamorgana belaka.
Di dunia ini banyak orang yang selalu disibukkan dengan bagaimana membangun dan mengembangkan bisnis. Siang malam waktunya habis untuk menemui klien dan investor. Pergi ke berbagai penjuru seperti debu-debu yang bertaburan tiada arah. Lihat ketika bisnisnya besar dan berkembang, ajal pasti menghampiri dan harta yang dikumpulkan tiada dapat menolongnya sedikitpun. Sebesar apapun api semangat mencintai dunia dalam hukum alam ada waktunya padam.
“atau seperti (orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit, yang disertai kegelapan, petir, dan kilat. Mereka menyumbat telinga dengan jari-jarinya (menghindari) suara petir itu karena takut mati, Allah swt meliputi orang-orag yang kafir”. (QS al-Baqarah/2: 19). Di ayat lain menjelaskan “mereka tuli, bisu, dan buta, sehingga mereka tidak dapat kembali”. (QS al-Baqarah/2: 18).
Di miqot semua calon jamaah haji wajib melepas baju duniawiyahnya. Mengganti dengan pakaian ihram putih dua lembar. Itulah pakaian suci dalam menghadap dzat yang maha suci, Allah swt. Menafikan semua atribut duniawiyah seperti kedudukan, kepangkatan, jabatan, kekayaan, harta benda. Semua yang dimiliki ditinggal di rumah tidak hanya secara fisik tetapi secara batiniyah. Haji harus ikhlas apapun yang akan terjadi hanya Allah swt tujuan perjalanan yang panjang dari kampung halaman.
Hanya Allah swt yang akan mendamaikan, membahagiakan, dan menyenangkan. Allah swt kekasih yang sudah lama dirindukan. Tiap hari, tiap malam, dan tiap detik mereka selalu menyebut namaNya. Dan, inilah satu-satunya saat yang kita tunggu-tunggu selama ini.
Ya Allah swt, kami datang memenuhi panggilanMu. Tidak ada sekutu bagiMu. Hartaku, keluargaku, istri/suamiku, anak-anaku, bisnisku, dan rumahku bukanlah pesaingMu, bukanlah sekutuMu atasku. Hanya kepadaMu aku berserah diri, mengikhlaskan ragaku, psikisku. Engkaulah satu-satunya harapanku, maka terimalah aku dengan kasih sayangMu, dengan rahmatMu.
Pakaian ihram adalah bentuk identitas khas. Pakaian yang menyatukan umat Islam dari berbagai latar belakang ekonomi, sosial, budaya, negara, bahasa, adat, kebiasaan, kelompok-kelompok keagamaan Islam.
Inilah pakaian convessional, pakaian yang menyatukan keragaman. Pakaian itulah yang menuntun haji untuk menyadari bahwa sejatinya diri manusia adalah milik Allah swt semata. Kita tidak mempunyai hak sedikitpun atas diri kita apalagi terhadap semua atribut yang melekat dalam diri kita.
Semua harus ditanggalkan hanya demi kekasih yang dicintai. Penghambaan manusia semata hanya pada Allah swt. Hanya kepadaMu, ya Allah swt tempat kami bergantung. Hanya kepada-Mu kami memohon petunjuk. Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus selurus-lurusnya jalan, yakni jalan kebenaran, kesadaran, kenyataan, kesempurnaan, cinta, dan kebijakan. Jalannya orang-orang yang telah memperoleh nikmatMu, bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai dan sesat.
Setelah berpakaian ihram di miqot disunnahkan shalat dua rakaat. Ini, menandai dimulainya perjanjian suci antara hamba dengan Tuhannya. Untuk lebih dekat sedekat-dekatnya. Bapak, istri/suami, anak, keluarga besar, harta, bisnis, dan rumah tidak lagi menjadi penghalang bagi individu haji untuk secara refleks selalu mensegerakan memenuhi panggilan saat adzan subuh, dluhur, ashar, maghrib, dan isya dikumandangkan.
Inilah saat di mana mulainya ditanamkan sedalam-dalamnya peneguhan kesadaran bahwa hanya Allah swt yang selalu ada dihati. Kemewahan dunia yang dimiliki individu haji ibaratnya hanyalah sebagai atribut yang seharusnya justru dapat melesatkan anak panah dari busurnya untuk menyatu dengan Allah swt.
Pada suatu titik di mana anak panah itu menancap tepat di titik tengah. Suatu titik tempat individu haji berdiri dihadapan Allah swt untuk bersujud dan bersimpuh. Semua Malaikat, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, bumi, matahari, dan planet-palnet lainnya mengikuti hukum mengelilingi titik tengah. Yaitu; Allah swt dengan penuh kesadaran dan kerendahan sebagai hamba yang taat.
Inilah gambaran sejatinya bahwa penciptaan manusia hanya untuk beribadah kepadaNya. Pikiran, sikap, dan perilaku diliputi oleh keinginan dan harapan untuk menyatu terhadap Allah swt. Allah swt tempat bergantung hajat-hajat di dunia dan akhirat.
Miqot merupakan titik awal individu haji melupakan segala atribut keduniawiannya. Hanya tatapan keceriaan dan kesucian putih penuh keikhlasan ditujukan kepada Allah swt. Jiwa individu haji telah disucikan dalam lumuran air suci wudlu. Jasmani telah dibersihkan dari semua kotoran dan haru birunya rona-rona duniawi.
Mereka menyatukan langkah kaki menuju rumah Allah swt (baitullah) seraya mengumandangkan tahmid, dan takbir. Dengan linangan air mata dan ucapan penuh khusu’ dan tawadlu’ individu haji menjawab panggilan Allah swt. Panggilan untuk mendekat hanya kepada Allah swt. Panggilan untuk mensucikan jiwa. Panggilan untuk membersihkan hati. Dan, panggilan untuk melupakan jasad dan bajunya yang penuh fatamorgana.
Miqot merupakan simbol permulaan bagi individu haji untuk memulai hidup baru. Hidup penuh keikhlasan atas pemberian Allah swt. Hidup yang selalu diusahakan dalam kondisi kesucian lahir batin. Hidup yang selalu mencerminkan perkataan, sikap, dan perilaku sesuai standar nilai-nilai keislaman. Hidup yang selalu diorientasikan untuk mendapatkan ridlo Allah swt.
Hidup, baginya dipahami sebagai proses penghambaan. Pendewasaan dalam standar norma-norma keislaman yang harus diwujudkan dalam pola hidup kesehariannya. Pakaian putih, mandi, wudlu, sholat, dan niat adalah simbol-simbol aktifitas yang dilakukan oleh individu haji untuk dimaknai dalam kehidupan keseharian individu haji. Karena haji itu sendiri merupakan bagian dari peneguhan ketauhidan hanya kepada Allah swt.
Miqot dapat dimaknai sebagai titik awal beralihnya ketergantungan dan keterpautan diri individu haji hanya kepada Allah swt. Mereka menyadari bahwa semua atribut duniawiyah yang dititipkan Allah swt kepadanya suatu saat akan dimabil kembali. Mereka menyadari bahwa saat kembali menghadap Allah swt sama seperti mereka hadir di dunia ini, tanpa membawa pakaian sehelaipun.
Mereka hanya membawa jasad, emosi, dan pengetahuan bahwa hanya Allah swt yang wajib disembah, tidak ada sekutu bagiNya. Mereka telah menyaksikan dan meneguhkan bahwa hanya Allah swt Raja di dunia dan di akhirat. Tidak ada kerajaan yang abadi, kecuali kerajaan Allah swt. Dia-lah raja diraja, raja dari semua raja, raja yang memiliki dan menaungi semua yang ada di dunia dan di akhirat.
Kehadiran para haji dari seluruh penjuru dunia melalui beberapa miqot yang sudah ditentukan dalam ajaran Islam. Hanya didasari atas keinginan untuk mengesakan Allah swt, dan mengagungkanNya. Mereka tidak merasa letih meski dari perjalanan yang jauh harus segera melaksanakan umrah wajib. Karena yang ada dalam pikiran, hati, dan emosinya adalah keinginan untuk segera menyatu dengan Allah swt.
Menyatukan harapan, keinginan, mimpi, dan menyatukan jiwa raga dengan Allah swt. Kesatuan antara makhluk dengan kholiq-Nya menandai dimulainya kolosal ibadah haji, kekhusu’an, tangisan, haru, gembira bercampur menjadi satu dalam ruang pikiran dan emosi. Mereka sadar sesadar-sadarnya bahwa Allah swt selalu hadir dalam semua aspek dan ruang dirinya yang kompleks dan unik. Cak Nur