Negara Lencet

teradesa.com. Memasuki tahun 2025 masyarakat dihantui oleh kenaikan pajak penambahan nilai (PPN) 12% dan kenaikan pajak kendaraan bermotor 66%. Kebijakan fiscal ini, menurut sebagian besar pengamat dianggap sebagai kebijakan ugal-ugalan. Ah, saya tidak mahir untuk urusan fiscal. Sedikit ilustrasi, jika Anda menjual tanah, maka dikenai pejak pendapatan, jika sebagian uangnya dibelikan motor, maka akan dikenakan kenaikan PPN 12%, dan pada saat her tahunan/5 tahunan pajak dinaikkan 66%.

Menarik untuk didiskusikan adalah analisis dibalik kenaikan pajak ini. Kita akan masuk dalam tahun lencet. Kelompok masyarakat kelas atas dimanjakan, dielus-elus agar tidak membawa kabur uangnya ke luar negeri, kemudian diberi amnesty pajak. Sementara, masyarakat kelas bawah diinjak-injak sampai tidak bisa bernafas. Hidupnya serba dihimpit pajak, maju mundur kena pajak. Terus yang kelas menengah? Untuk bertahan hidup, sungguh sudah luar biasa.

Lencet, setidaknya secara komprehensip menggambarkan model ideologi pembangunan negara yang post-neo liberal. Wah, sangar emen! Sudah post ditambah neo lagi…emboh wes apa maksudnya! Intinya kita lebih liberal dari Negara Liberal seperti Amerika. Padahal ideologi pembangunan Negara kita adalah Pancasila, ah itu hanya icon tanpa makna. Desparitas antara kelas atas dan bawah makin lebar dan terus saling menjauh. Ngeri-ngeri sedap…!

Anda tidak percaya? Berapa gaji dan pendapatan pejabat tinggi Negara dan bandingkan dengan gaji OB [maaf] di kantor tersebut? Antara langit dengan bumi. Ini indikator yang mudah untuk memahami liberal atau pancasilais pembangunan di Negara ini. Sampai disini, tergambar dalam bayangan kita, akan adanya mobilitas sosial masyarakat yang berjarak, yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.

Tiga model pergerakan masyarakat yang akan terjadi. Pertama, pejabat bersinergi dengan konglomerasi mengeksplor sumberdaya Negara untuk kepentingan kekuasaan dan bisnisnya. Yang miris lagi, pejabat dan legislator terlibat langsung dalam bisnis. Kebanyakan kekayaan konglomerasi tidak didapatkan dari bisnis kreatif. Mereka cenderung berbisnis yang bersifat monopoli, keuangan, perkebunan, dan pertambangan. Tentu, hal ini berbalik dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.

Keterlibatan pejabat dalam bisnis ini bersifat langsung dan tidak langsung. Sebagian menjadi komisaris di beberapa bisnis mitranya, sehingga cenderung bias kepentingan. Selain itu, menjadi rahasia umum bahwa dalam setiap pengesahan RUU dan kebijakan lainnya cenderung terdapat “uang pelicin”. Ini sangat mudah ditebak bahwa ada sesuatu dibalik pengesahan itu, yang ujung-ujungnya adalah penguasaan sumber daya untuk kelompoknya.

Kelompok masyaraakat pertama ini cenderung eksklusif dan elitis. Meskipun secara teori trickledown effect diharapkan kelompok ini berbagi profit, menjadi katalisator dan mentor kepada kelompok dibawahnya, faktanya tidak! Mereka terus hanya bergerak pada kelasnya untuk melanggengkan kekuasan kekayaannya—yang dipoles dengan pertumbuhan ekonomi, yang terus ditingkatkan setiap tahun. Lalu untuk apa pertumbuhan jika tidak terjadi pemerataan yang berkeadilan?

Kedua, masyarakat kelas menengah. Kita menaruh harapan besar terhadap kelompok masyarakat ini. Mereka terpelajar, meskipun dengan dukungan ekonomi belum cukup stabil. Ekonominya cenderung dipengaruhi kondisi eksternalnya. Akhir-akhirn ini daya beli mereka sudah menurun, karena situasi ekonomi eksternal yang kurang kondusif. Dapat diprediksi, akibat kebijakan fiscal yang baru ini dapat menyebabkan kondisi mereka semakin rentan untuk turun kelas.

Down mobility kelas menengah masyarakat menjadi kelompok rentan miskin memang menjadi target dari dibalik kebijakan fiscal “lencet’ ini. Mengapa? Dengan terpuruknya ekonomi kelas menengah, maka daya kritisnya akan berkurang, bahkan hilang. Selama ini, kelas atas masyarakat merasa “dirusuhi” dengan kekritisan kelompok menengah ini, sehingga menghambat tujuannya. Dalam kondisi kerentanan itu, dibenturkanlah mereka dengan imajiner kekayaan.

Imajinasi kaya dielaborasi dan diwujudkan dalam branding diri melalui pola, dan gaya hidup fast track. Kelas atas masyarakat mencium bau sedap ini, maka dikembangkankan model bisnis fast track, judi online (judol) dengan beragam bentuk dan cara. Maka, dapat dimaklumi jika korban dari judol ini adalah anak-anak muda, kaum terpelajar, unemployer dan kelas menengah yang rentan.

Ketiga, kelas bawah masyarakat semakin miskin. Sebetulnya ada kencendrugan dan pola yang mulai baik. Kelompok masyarakat ini sudah sadar pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Tingkat partisipasi pendidikan sekolah dasar dan menengah atas sudah mendekati 100%. Dan, cenderung turun pada angka partisipasi di Perguruan Tinggi, karena berbagai pertimbang pragmatis. Sebagian lebih memilih bekerja, atau bekerja sambil kuliah.

Terjadinya up-mobility, bergeraknya masyarakat dari kelas menengah ke kelas atas, dan dari kelas bawah ke kelas menengah merupakan konsekwensi dari tingkat pendidikannya. Dalam teori deprivation trap, pendidikan merupakan salah satu model untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan. Tetapi, kemungkinan besar hal ini tidak akan terjadi. Lagi-lagi karena dampak dari kebijakan “lancet” fiscal.

Tidak, pendidikan tidak akan dapat menciptakan perbedaan (school undifferent). Tidak, sekolah tidak akan memiliki kekuatan (school unpowerfull). Pengangguran terpelajar terus bertambah. Kaum kelas menengah tidak dapat menambah penciptaan lapangan pekerjaan dan kaum kelas atas lebih memilih bisnis yang monopoli, save dan padat modal, ketimbang padat karya. Ujung-ujungnya, pergerakan kelas bawah akan cenderung stagnan dan makin terpuruk dalam kemiskinannya. Cak Nur

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top