teradesa.com. Saya perlu bersyukur, setidaknya karena tidak pernah “mengharamkan” diri untuk sesekali nimbrung nongkrong di warung kopi. Karena, di situ saya dapat menguping tema pembicaraan anak-anak muda. Ya, komunitas millenial bagiku menarik untuk di kuping. Wkwkwkw dasar tukang ngopi, punya banyak seribu alasan untuk menjustifikasi perilku diri. Oh tidak…ini yang paling penting.
Mereka banyak membicarakan hal-hal yang menurutku baik. Kelompok ini bisa dimasukkan sebagai komunitas digital. Betul, mereka sedang membangun legacy komunitas digital di era serba berubah ini. Komunitas ini bekerja, meski tidak seperti kebanyakan orang bekerja. Bahkan, mereka mendapatkan uang dengan cara yang berbeda dari kebanyakan orang tua.
Mereka tidak perlu memakai seragam, berjas, dan atribut kantor lainnya. Mereka tidak perlu menunggu honor di awal bulan, tiap hari-pun mereka bisa mendapatkan honor. Waktu untuk bekerja tidak harus ditentukan 8 jam/hari. Mereka dapat mengatur jam kerja dan pendapatannya secara fleksible. Mungkin, sepertinya tiap hari mereka hanya nongkrong di warung kopi, tetapi pendapatannya bahkan melebihi UMR. Wah, apa pekerjaan mereka? Silahkan dikuping sendiri.
Bagiku, ini menarik untuk iseng bahas dari sisi filsafat. Begini, sekitar 2.600 tahun yang lalu, di Yunani, Hesiodotus menulis sebuah puisi tentang kerja yang berjudul Work and Days. Menurutnya bahwa kerja adalah isi utama dari kehidupan manusia. Kerja dapat dimaknai sebagai bagian sentral didalam kehidupan manusia. Dengan pikiran dan tubuhnya, manusia mengorganisir pekerjaan, membuat benda-benda yang dapat membantu pekerjaannya tersebut, dan menentukan tujuan akhir dari kerjanya.
Sejak dulu manusia sudah memiliki pandangan, bahwa kerja adalah sesuatu yang suci. Kerja adalah suatu bentuk panggilan dari Tuhan. Kerja adalah suatu pengabdian, apapun bentuknya, dan semua itu layak mendapatkan penghormatan. Di Eropa pada abad ke-14, para Rahib Benediktin bekerja di ladang dan sawah bergantian dengan mereka berdoa. Kerja tangan dianggap sebagai sesuatu yang sama sucinya seperti orang berdoa.
Dalam ajaran Islam, juga ditekankan pentingnya bekerja dari pada meminta-minta. Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Salah satu dari kalian memikul kayu bakar dipunggungnya itu lebih baik daripada ia minta-minta kepada seseorang baik diberi atau ditolak”. (HR. Bukhari).
Franz Magnis-Suseno menegaskan, bahwa ada tiga fungsi kerja, yakni fungsi reproduksi material, integrasi sosial, dan pengembangan diri.
Pertama, fungsi material. Tentu, setiap orang yang bekerja ingin mendapatkan uang, honor, dan gaji. Uang adalah alat pembayaran. Setiap orang membutuhkan materi-materi untuk memenuhi kebuhan primer, skunder, dan tertier-nya.
Kedua, fungsi integrasi sosial. Bagi komunitas tertentu, bekerja adalah untuk membangun jejaring, membangun image, dan integrasi sosial di masyarakat. Dengan bekerja seseorang bisa mendapatkan status sosial di masyarakat. Bahkan, ia dipandang sebagai warga masyarakat yang bermanfaat bagi orang lain.
Ketiga, fungsi pengembangan diri. Bekerja tidak hanya untuk mendapatkan uang dan ststaus sosial. Tetapi, juga untuk aktualisasi diri. Dengan bekerja, seseorang mampu secara kreatif menciptakan dan mengembangkan dirinya. Dengan demikian, bekerja sejatinya adalah untuk menyempurnakan potensi diri.
Nah, inilah era di mana setiap orang memiliki kemungkinan untuk tidak hanya sekedar bekerja untuk mendapatkan uang, berkumpul dengan komunitas. Pilihlah pekerjaan-pekerjaan yang memungkinkan potensi bawaan diri bisa dapat terus berkembang dan berlanjut (continue) untuk menjadi manusia seutuhkan. Karena sejatinya bekerja itu belajar untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi diri. Inilah yang oleh Erick fromm dikonsepsikan sebagai to be. #Nur Kholis.