teradesa.com. Ini kali yang kedua, Cahya mengirim beras dan ikan asin ke rumah. Mungkin dia kasian, aku tidak punya apa-apa, sekalipun untuk makan. Sepupu-pun yang dekat dan sedang pesta sate ayam juga tidak memberiku. Meskipun, sebetulnya aku sejak dulu tidak suka daging, apalagi ayam potong.
Aku mencoba mengikuti saran Cahya, tidak semua ikan asin kujemur. Hanya secukupnya saja, yang mau digoreng. Lainnya bisa disimpan di kulkas. Ikan asin ini sangat khas, aku suka. Kurebuskan sayur daun kelor dan ditambah sambal torek. Alhamdulillah, nikmat sekali makanku siang ini.
Ingat dulu, saat masih kecil. Jika musim panen padi, ibuku selalu memasak enak. Berbeda dari hari-hari biasanya, nasi jagung. Saat panen padi, ibu selalu memasak nasi putih, sayur kelor, sambal kemangi, dan ikan panggang—perpaduan khas dapur ibu. Tetapi juga, sering daun kelor hanya direbus dan dimakan dengan sambal torek.
Ibu juga sering membawa bayam dari sawah. Bayam dicampur dengan daun kelor dimasak bumbu kunci. Hemmm enak sekali. Ah, cerita masakan masa kecil. Jadi kangen beliau. Semoga Almarhumah dan almarhum bapak selalu mendapat nikmat kubur, amin yra.
Kudengar ketukan di pintu tiga kali. Kubuka, ternyata yang datang adalah Ibu Fransisca, notaris keluarga bapak. Dia datang tidak sendiri, tetapi ditemani seorang pria. Ia diperkenalkan denganku sebagai adiknya bu Fransisca. Katanya pegawai Pemda di Kabupaten. Aku tidak begitu mempedulikannya. Toh, aku tidak kenal.
Bu Fransisca membawa oleh-oleh buah yang sangat aku suka, yaitu; anggur dan pisang. Pisang aku tidak suka. “Lumayan, bisa untuk nambah gizi” Gumamku dalam hati.
Aku memang sangat suka buah dan sayur. Makan nasi kubatasi hanya sekali, saat makan siang saja. Begitulah, kebiasaanku sejak dulu. Makanya di usiaku yang mendekati 46 tahun. Masih terlihat cantik dan bersih.
Bu Fransisca sangat tahu sejarah pembelian tanah orang tuaku, yang ada di Sumberarum. Karena semua leger tanah orang tuaku ada di kantor bu Fransisca. Tanah orang tua yang di Sumberarum, termasuk yang paling luas. Tertulis di sertifikat, luasnya 2.000 m x 200 m, itupun letaknya di pinggir jalan Propinsi.
“Mbak Mimin, beberapa hari lalu saya menelpon mengingat untuk membayar pajak tanah yang berlokasi di Sumberarum”. Bu Fransisca membuka pembicaraan.
Aku memang setengah lupa, jika bapak mempunyai tanah di Sumberarum. Karena memang sejak orang tua meninggal belum pernah aku membuka dokumen sertifikat tanah peninggalan orang tua.
“Begini mbak Mimin, bagaimana jika tanah di Sumberarum itu dijual saja? Ada temanku yang menginginkan tanah tersebut. Dia teman dekatku. Harganya juga cukup tinggi lho”. Ucap Bu Fransisca, sambil tersenyum mencoba merayuku.
“Mengapa kok tiba-tiba bu Fransisca menawarkan pembelian tanah itu? apa ada hubungannya dengan Lee Chong Men alias Hendrawan? Yang beberapa hari lalu disel di Mapolres”. Sergahku kepada bu Fransisca.
Kejadian ini langsung kuceritakan ke adik melalui chat. Saat ini Andika (adik sepupu) sedang mendapat tugas tambahan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Adik marah, dan langsung menelpon Bu Fransisca. Sebelumnya, memang adik kenal dan pernah bertemu dengan bu Fransisca.
“ibu jangan sekali-kali meminta mbak Yu untuk menjual tanahnya. Sudah, sekarang pulang saja. Dan, bawa pulang lagi semua buah itu. Tidak butuh pemberian ibu”. Luapan amarah adik via telphon kepada bu Fransisca.
Sebetulnya aku merasa eman. Anggur kesukaanku tidak jadi tak makan. Dibawa pulang lagi oleh Bu Fransisca. Sebetulnya aku sangat menginginkan buah itu. Pisang tidak apa dibawa pulang lagi, tapi anggurnya jangan, hehehe.
Tetapi, ada yang aneh dan ganjil. Adiknya bu Fransisca dalam memandangiku saat berpamitan. Suara hatiku, mengatakan sepertinya ia bukan pegawai Pemda sebagaimana di sampaikan Bu fransisca. Saat berpamitan, bu Fransisca juga mengatakan bahwa sebetulnya ia ingin mengenalkan adiknya dengan-ku.
“terimakasih kedatangan Bu Fransisca. Dan, saya minta maaf jika ada yang kurang berkenan”. Ucapanku kepada Bu Fransisca dan adiknya sambil menutup pintu.
#7 cerbung, by Cak Nur