Teradesa.com. Prinsip dasar cara kerja unsur-unsur tubuh manusia adalah saling-keterhubungan (mutual connection), bahkan keterhubungan ini tidak hanya sebatas internal, tetapi juga dengan unsur-unsur di alam jagad raya (yang terakhir ini akan saya tulis pada topik tersendiri). Unsur-unsur jasmiah merupakan instrumen penerimaan (reception instrument) atau juga dapat disebut sebagai hard-ware. Sedangkan, akal merupakan unsur manager, administrator, leader dan superintendent atau dapat disebut sebagai soft-ware.
Dalam berbagai tulisan yang pernah saya tulis, berkaitan dengan topik ini, saya selalu berkeyakinan bahwa akal atau otak-lah yang dimaksud Nabi saw sebagai hati. Hati adalah jiwa, ruh, dan mengandung cahaya ilahiyah. Atau, dalam konsepsinya Ibnu Arabi bahwa didalam jiwa itulah Tuhan ber-tajalli. Hati ini bersifat ambigu dan kadang juga anomali. Oleh karenanya, seseorang suatu saat terlihat baik, tetapi dilain waktu terlihat buruk. Fakta itulah, yang membuat Jalaludin Rumi menyebut manusia sebagai setengah Malaikat dan Setan.
Hati adalah segalanya bagi manusia. Eksistensi, legacy, dan keabadian manusia ditentukan oleh sifat hati yang dominan dalam keseluruhan hidupnya. Nabi saw telah wafat ratusan tahun lalu, tetapi beliau masih abadi. Para tokoh sahabat juga sudah syahid tetapi keabadiannya masih dapat kita rasakan dan terbaca. Para tokoh bangsa telah meninggal, tetapi ia masih abadi dalam ingatan sejarah bangsa. Hati yang baik, akan mengarahkan seseorang menjadi pribadi yang baik. Dan, begitu pula sebaliknya.
Pada titik inilah, saya ingin menganalisis aspek ontologi kesehatan dalam perspektif al-Qur’an. Sehat menunjukkan berfungsinya seluruh unsur-unsur tubuh, baik yang jasmaniah maupun ruhaniah. Dan, sebaliknya, sakit adalah tidak berfungsinya salah satu atau lebih unsur tubuh manusia.Jika jasmaniahnya sakit, maka tidak banyak berpengaruh terhadap ruhaniah. Tetapi, jika ruhani yang sakit, maka usnur jasmaniahnya terengaruh.
Nabi saw menyampaikan bahwa didalam tubuh manusia terdapat segumpal darah, apabila ia baik/sehat maka baik/sehatlah semuanya. Begitu pula, dalam al-Qur’an menempatkan hati sebagai corenya. Pertama; Penyakit bersumber dari hati. Hati yang tertutup berkaitan dengan ketidak berfungsinya penglihatan dan pendengaran. Akibatnya, seseorang terjebak pada sikap dan perilaku angkuh, sombong, tidak mau menerima kebenaran, pembohong, dan diselimuti kemunafikan (QS. Al-Baqarah[02]: 7-10; At-Taubah[09]: 125).
Kedua; Sumber rizki yang tidak halal (rijs). Keberkahan asupan makanan diperoleh dari cara mendapatkannya sumber makanan secara halal. Termasuk didalamnya menghindarkan diri dari makanan-makanan yang dapat merusak unsur jasmaniah. Misalnya khamr, makanan najis (babi, bangkai) dan/atau makanan yang menjijikkan (QS. Al-Ma’idah[05]: 90).
Penyakit yang lokusnya dari hati akan mengakibatkan kebodohan (jahl). Kebodohan adalah tidak berfungsinya akal secara maksimal. Kebodohan terjadi karena seseorang tidak sensitif dan tidak peduli terhadap bukti (al-burhan) (QS. Al-An’am[06]: 111). Sering melakukan miskonsepsi terhadap sesuatu atau informasi yang didengar, ditangkap, dan dipikirkannya. Kebodohan juga dimaknai sebagai sikap tidak kritis terhadap budaya masa lalu yang jahl dan sama sekali tidak relevan (QS. Al-A’raf[07]: 138).
Yang menarik bahwa al-Qur’an menjelaskan bahwa kesombongan (arogansi) merupakan pangkal dari kebodohan (jahl) (QS. Hud[11]: 29). Karakter arogan, biasanya tidak jernih didalam memandang setiap persoalan—inilah, pangkal kebodohan. Kebodohan model ini, jika dipelihara terus menerus dan terbiasa dikerjakan akan melahirkan suatu pandangan dan sikap yang tidak benar, ngawur, inkonsistensi, dan tidak terbukti (halu).
Kesombongan melahirkan sikap angkuh, tertutup, dan tidak mau menerima kebenaran dari luar dirinya. Orang-orang kafir Qurays di awal dakwah Nabi saw tidak mau menerima kebenaran yang dibawa oleh Nabi saw, salah satunya adalah sikap keangkuhan dan kesombongannya. Begitu halnya ketika Jin tidak mau tunduk kepada Tuhan, dan tidak bersedia sujud kepada Nabi Adam as, karena didalam dirinya ada benih sombong.
Kesombongan pada akhirnya juga membuahkan tidak berfungsinya penglihatan, pendengaran, dan perasaannya. Unsur-unsur jasmaniahnya tidak berfungsi atau tidak difungsikan secara baik. Pada puncaknya menurut al-Ghazali menyebabkan hati sakit (qalbun maridl). Hati sakit ini berdasarkan berbagai fakta kesehatan adalah sumber lahirnya penyakit-penyakit jasmaniah. Misalnya, marah dan kecemasan yang berlebihan dapat menimbulkan penyakit jantung.
Penulis: Nur Kholis