teradesa.com. Hari ini, aku manjakan diri untuk tidak memikirkan pekerjaan rutin di rumah dan di kampus. Sesekali perlu menyatukan semua unsur kemanusiaanku dengan sumua unsur alam semesta. Kulepaskan pikiran-pikiran yang telah menjerat dan memenjara, menyatu dengan pikiran-pikiran bebas kesemestaan. Kuhirup oksigen yang dihamparkan semesta sebanyak syaraf yang ada dalam brainstem yang ada di bagian depan cerebellum-ku. Maka, kurasakan hembusan, bisikan, dan intonasi kerinduanNya yang merasuk kedalam tulang sumsum, detak jantung, peredaran darah, dan nafas.
Di Pantai Klatak, sekarang sudah tidak lagi seperti enam tahun lalu. Saat itu, sering bersama teman-teman Desa Keboireng mancing ikan di laut Klatak. Berangkat sore pulang pagi hari. Itu, bagian dari caraku untuk mensyukuri dan menyatu-kealam semestaan. Saat itu, jalan menuju pantai sangat rumit, harus melewati lumpur, dan jalan mendaki yang terjal. Hanya sepeda motor dan ban yang sudah dimodif trail, dapat menjangkau pantai Klatak.
Sekarang tidak serumit itu, pembangunan jalur selatan telah merubah keseluruhan atmosfir geografis, dan ritme budaya masyarakat setempat. Kehadiran para pelancong dari semua penjuru telah merubah budaya masyarakat Keboireng. Seperti kehadiran para Haji ke Kota Makkah, sebagaimana diabadikan didalam QS. al-Hajj/22: 27-29. Sering kali memang kehadiran orang luar merubah budaya masyarakat setempat. Masyarakat Klatak yang sebelumnya hanya bekerja sebagai petani dan nelayan tradisional, sekarang beralih berjualan, meyewakan rumah, membuka warung. Ya, Klatak akan beralih menjadi metropolis.
Begitu masuk Klatak, kucari gundukan “pulau kecil” di sebrang pantai sudah tidak ada lagi. Padahal tempat itu, favoritku saat mancing. Agak jauh sich dari Klatak, harus berjalan kaki di pinggiran pantai, masuk belantara hutan Klatak, dan kali kecil dengan air bersih yang terus mengalir dari sumber bawah gunung Klatak. Proyek jalur selatan telah menghancurkan keindahan alam Klatak. Sekarang, pantai Klatak sama tidak indahnya dengan pantai Gemah. Semua serba polesan monoton. Ia tidak lagi ramah dengan semua satwa alam. Aliran sungai kecil yang memecah pantai Gemah dengan pantai Klatak sudah dipasang paku bumi. Semoga mata airnya tidak ngambek, karena tidak lagi dapat berjalan bebas ke laut.
Sejak jam 10.00 wib ada teman yang sudah memesan ikan bakar untuk makan siang bersama. Seperti biasanya, saat berada di alam bebas seperti ini, pikiran langsung tertuju pada minuman favorit, kopi. Ya kopi, seperti kecanduan meski aku bukan perokok. Hipothalamus dalam otak-ku yang berada di bawah thalamus di bagian otak tengah selalu awe-awe, minta asupan kopi. Apalagi saat mata ini melihat ikan kakap di atas panggangan api, hmmmm dia gerunjal-gerunjal inginnya segera makan. Udara, angin, dan panas di pantai Klatak terus membisikkan agar mata, pikiran, dan emosi menyatu dengan alam pantai yang sudah ternoda oleh proyek PMA. Ndak masalah, bene sak karepe pemerintah!
Jam 12.00 wib tepat, tidak lagi kudengar suara adzan di Masjid Klatak. Yang ada hanya orang-orang pekerja proyek PMA yang tidur kelelahan saat jam istirahat siang. Dulu, Mbah Mul, yang rumahnya depan masjid selalu menyapaku, ngobrol tentang semua pengalamannya, dan mengajak sholat berjamaah saat aku berkunjung ke Klatak. Ya, saat itu memang aku sering ke Klatak untuk melakukan penelitian, program UNICEF. Sejak ada proyek, rumah mbah Mul sudah berubah agak bersih meski tetap tidak rumah tembok seperti lainnya. Mungkin karena sudah tua, tidak bernafsu membangun rumah. Seperti itulah, pada akhirnya semua orang akan pasrah dengan keadaan. Sama, semua orang sudah pasrah dan ga peduli lagi dengan kerusakan alam dan terpinggirnya satwa di Klatak. #Nur Kholis.