teradesa.com. Masalah krisis lingkungan memang telah menjadi perhatian para ahli sejak tahun 1960an. Namun demikian, sampai sekarang berbagai upaya yang telah dilakukan oleh para akademisi, pakar, pemerhati, praktisi, dan pemerintah belum banyak merubah situasi tersebut. Berbagai bentuk krisis, mulai dari pemanasan global, perubahan iklim, pencemaran udara dan laut, penebangan hutan, eksploitasi tambang, erosi, sampai banjir. Begitu banyak ragam permasalahan lingkungan ini, rasanya tidak mungkin memotret dalam esae ringan dan pendek ini.
Saya hanya ingin menulis permasalahan tersebut dari cara pandang sebagian besar manusia terhadap lingkungan sekitarnya. Fritjof Capra berpendapat bahwa krisis lingkungan yang dialami masyarakat dunia merupakan akibat dari worldview dan keserakahan manusia terhadap alam, baik keserakahan karena kemiskinan, kebodohan, atau menghimpun kekayaan sebanyak-banyaknya. Sementara, E.F. Schumacher menyatakan bahwa permasalahan ini sangat terkait dengan krisis kemanusiaan, moralitas sosial, dan krisis orientasi manusia terhadap Tuhan.
Krisis ini berkaitan langsung dengan cara pandang (worldview) manusia terhadap keduniaan dan lingkungan. Bahkan, sebagian pakar menuduh semua ini disebabkan oleh ajaran-ajaran agama monoteisme, misalnya Lynn White, Toynbee, dan Daisatsu Ikeda. Mereka menyimpulkan bahwa worldview antroposentris agama-agama monoteis-lah yang menyebabkan terjadinya krisis ekologi. Agama-agama monoteisme mengajarkan pada umatnya bahwa alam jagat raya diciptakan untuk manusia—inilah yang kemudian melahirkan konsep antroposentrisme dan perilaku eksploitatif.
Antroposentrisme menempatkan manusia sebagai subyek tunggal di alam jagat raya. Bumi, air, tumbuh-tumbuhan, hewan, planet-planet luar angkasa, dan semua yang ada didalam alam jagat raya ini menjadi obyek. Obyek merupakan entitas yang harus dimanfaatkan, dieksploitasi, dan dipergunakan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan manusia (subyek). Sementara, ciri khas manusia adalah serakah. Maka pemanfaatan alam jagad raya menjadi tidak terbatas. Hal demikian ditambah dengan konsep prinsip ekonomi sekuler, modal sekecil-kecilnya untuk mengasilkan keuntungan sebesar-besarnya.
Baiklah, sementara kita sepakat tentang bagaimana redefinisi tentang Tuhan, manusia, dan alam jagad raya. Konsep ini berkaitan dengan worldview yang seharusnya dikembangkan oleh manusia dalam mendasari pengembangan konsep atau teori membangun kembali konsep kehidupan yang ramah lingkungan. Jika pada era nenek moyang lingkungan dipersepsi sebagai tuhan, maka seharusnya sekarang lingkungan ditempatkan sebagai mitra abadi. Tuhan hendaknya ditempatnya sebagai sumber nilai untuk membangun hubungan simbiosis mutualis antara manusia dengan alam.
Selama ini, dalam pemahaman konsep antroposentrisme—manusia satu-satunya subyek yang berbeda (atau tidak memiliki hubungan dengan Tuhan), dan menempatkan alam sebagai obyek untuk kepentingan atau tujuan manusia semata. Kesadaran antroposentrisme yang dibalut dengan nilai-nilai, prinsip, dan etika kapitalisme cenderung melahirkan sikap eksploitatif terhadap alam. Kesadaran demikian pada akhirnya meyebabkan berkembangkan sikap sekularisme dalam memanfaatkan alam. Puncaknya, alam hanyalah sebagai obyek semata. Mestinya tidak, alam adalah bagian yang inhern untuk kelangsuhan hidup manusia berdasarkan nilai-nilai ketuhanan.
Disinilah pentingnya melahirkan hubungan Tuhan, manusia, dan alam berdasarkan pemahaman konsep ecotheology. Ecotheologi adalah kesadaran bahwa krisis lingkungan tidak semata-mata masalah yang bersifat sekuler, tetapi juga problem keagamaan yang akut karena berawal dari pemahaman agama yang keliru tentang kehidupan dan lingkungan. Bukan agamanya yang salah, bukan monoteisme-nya yang keliru sehingga sampai menyarankan beralih ke Panteisme, sebagaimana pandangan para pakar di atas. Tetapi pemahaman manusia yang salah terhadap norma, nilai, dan ajaran agama-agama monoteisme.
Bumi, air, udara, hewan (darat/laut), tumbuh-tumbuhan, dan planet-planet adalah potensi yang diciptakan Tuhan untuk manusia. Mereka adalah potensi yang memungkinkan untuk dijadikan sebagai obyek kajian, penelitian, dan dimanfaatkan untuk kemakmuran manusia di bumi. Konsep kemakmuran manusia secara komunal, bukan individu atau kelompok, atau golongan. Kemakmuran komunal melahirkan kesadaran berkelanjutan dalam memanfaatan alam. Mereka bukan saja untuk masa kehidupan manusia atau kelompok tertentu, tetapi untuk manusia sepanjang kehidupan.
Penelitian, pengkajian, pemanfaatan, rehabilitasi dan kesehatan lingkungan adalah bagian integral. Tidak boleh ada pemisahan antara penelitian—pemanfaatan—pemulihan. Ketiga siklus ini jika didasarkan pada kesadaran ketuhanan justru akan melahirkan sikap yang baik terhadap alam dan manusia-manusia lainnya. Tidak hanya mementingkan diri sendiri atau kelompok, tetapi juga orang-orang dan generasi berikutnya. Kesadaran ketuhanan melahirkan kesadaran lingkungan yang sehat, dan kesadaran kesalinghubungan antar individu manusia. #Nur Kholis.