Patronase Ideologi dengan Kekuasaan Pemerintah

teradesa.com. Teologi merupakan inti (core) energi yang menggerakkan berkembangnya pemikiran-pemikiran, gagasan, dan ide dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Atau, dengan kata lain, ideologi merupakan cara pandang bersama yang menjadi penggerak pembangunan kebangsaan. Semua pendiri bangsa menyadari hal ini, makanya BPUPKI pada bulan pertama dari bulan kemerdekaan langsung gercep merumuskan ideologi, yang kemudian disepakati—pancasila, bahkan telah dimulai sejak bulan Juli 1945.

Pembangunan di negara-negara bagian Amerika Serikat berideologi liberal, negara-negara Uni Sovyet (sebelum hancurnya di tahun 1990an) berideologi sosialis. Sementara, negara-negara Eropa mengikuti ideologi walfer state. China, meski awalnya berideologi sosialis, sekarang menceng ke liberal. Oleh karena itu, bagi suatu bangsa, ideologi adalah kebutuhan vital. Tanpa ideologi pembangunan sebuah negara tidak berdasar dan cenderung terombang-ambing oleh kepentingan oligarkhi kapitalis. Dan, tentu sangat rentan menyimpang dari tujuan berkebangsaan.

Selain itu, ideologi juga berfungsi untuk mengontrol sikap dan perilaku terhadap penguasa dalam dinamika politik dan arah pembangunan kebangsaan. Di awal masa perkembangan peradaban Islam, terutama di era Khilafah al-Rasyidin adalah era dalam proses pencarian jati diri peradaban. Oleh karena itu, sering terjadi konflik. Tentu, konflik ini harus disikapi berdasarkan sandaran teologi, atau ideologi (cara pandang). Misalnya, teologi al-Irja’a sebenarnya dapat ditelusuri dari konflik politik pada era Kholifah Utsman bin Affan.

Terbunuhnya Kholifah Utsman bin Affan, dan kemudian kekuasaan beralih kepada Ali bin Abi Thalib semakin memperkeruh kondisi politik pemerintahan Madinah, yang banyak digerakkan oleh sentimen kesukuan (bukan sentimen ideologi). Dari konflik ke konflik yang kemudian sampai ke Daulah Umaiyyah ini melahirkan banyak golongan. Dari beragam golongan ini, kemudian membentuk ideologi diluar pemerintahan resmi. Mereka berkelompok mematangkan ideologi dan terus membangun basis gerakan. Diantara yang muncul pada era tersebut adalah golongan Khawarij dan golongan Murji’ah. Pada titik ini, umat Islam tersekat menjadi beberapa kelompok.

Pertama, kelompok yang tidak puas dengan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib yang berpusat di Makkah, yang didukung oleh Aisyah. Kedua, golongan yang tidak puas dengan arbitrase tahkim. Mereka kecewa dengan Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib. Mereka keluar menuju kampung al-Hurur—golongan Khawarij atau juga dikenal hururiyah. Ketiga, golongan loyalis Ali bin Abi Thalib, mereka ini tidak menyukai Utsman bin Affan dan Mu’awiyah dan Aisyah, yaitu golongan Syi’ah. Keempat, golongan yang awalnya membela Utsman bin Affan. Mereka pengikut Mu’awiyah, Aisyah, dan sebagian besar yang netral. Ditengah haru biru konflik politik yang berkepanjangan, mereka kemudian tidak menyalahkan semua pihak, dan lebih memilih bersikap non-blok—kemudian menjadi kelompok keempat, yaitu golongan Murji’ah. Ideologinya adalah al-Irja’a.

Tipe masing-masing golongan ini memiliki kesamaan dalam pengembangan model dinamikanya dalam kehidupan berkebagsaan. Yaitu bermula dari perbedaan politik berubah ke perbedaan pemikiran (golongan mutakallimin). Seharusnya terbalik, dari pemikiran (ideologi) ke gerakan. Dari keyakinan (iman, pandangan, pemikiran) ke amal (gerakan, dakwah, pemberdayaan). Berbeda dengan model pengembangan kebangsaan peradaban negara-negara modern, baik di Barat, Eropa, Asia, maupun Australia selalu dimulai dari ideologi (pemikiran) menjadi gerakan (pembangunan). Dengan demikian, perbedaan peradaban Islam dengan peradaban modern adalah terletak pada posisi dasar pembangunan (idelogi) dalam proses pembangunan.

Peradaban Islam, mulai dari khilafah al-Rasyidin, dan awal Daulah Umaiyyah proses pembangunan kebangsaannya tidak didasarkan pada ideologi. Sementara, mulai Daulah Abbasiyah, Daulah Utsmaniyah, Bani Aghlabiyah, maupun Bani Fatimiyah sudah mulai mengadopsi ideologi-ideologi keislaman sebagai dasar pembangunan, misalnya ideologi; mu’tazilah, jabariyah, syi’ah, murji’ah, ahlussunnah wal jama’ah. Hal ini bisa jadi, di awal peradaban islam golongan-golongan mutakallimin seperti itu belum ada. Sementara, mulai Daulah Abbasiyah masing-masing golongan ideologi mutakallimin sudah berkembang mapan dan menemukan partnernya di pusat-pusat kekuasaan pada masing-masing Daulah. #Nur Kholis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top