teradesa.com. Jika dilihat dari perspektif posisi agama dengan ilmu pengetahuan, maka agama Islam berbeda dengan agama-agama lainnya. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang akhir-akhir ini, karena pada awalnya Barat memisahkan antara ajaran agama Katholik dengan pengembangan ilmu pengetahuan—yang ditandai dengan renaisans. Sementara, ilmu pengetahuan yang berkembang pesat, bahkan beberapa abad mencapai puncaknya pada peradaban Islam justru karena para ilmuwan berhasil mengintegrasikan antara ajaran-ajaran agama Islam dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bagi ilmuwan, al-Qur’an merupakan sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan. Al-Qur’an dan al-Hadis memiliki posisi penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Mengapa demikian? Karena pada hakikatnya semua fenomena-fenomena alam semesta dapat dilacak penjelasannya didalam al-Qur’an. Bahkan, al-Qur’an dapat dijadikan sebagai pintu masuk dalam penelitian kesemestaan. Dari kegiatan inilah, kemudian para ilmuwan menemukan ilmu pengetahuan dan teknologi—yang bermanfaat bagi kemakmuran dan berkembangnya peradaban umat manusia.
Filsafat dapat menjelaskan secara logis terhadap fenomena-fenomena kemanusiaan, sosial, dan kesemestaan sebelum ditemukan penjelasannya berdasarkan hasil penelitian. Oleh karena itu, kedudukan ilmu filsafat terhadap kegiatan penelitian adalah memberikan penjelasan dasar yang logis terhadap semua fenomena, yang diteliti. Berkembangannya ilmu filsafat pada zaman keemasan Yunani Kuno, misalnya adalah karena didukung oleh perkembangan ilmu silogisme, dan ilmu mantiq. Para filosof Yunani berhasilkan mengembangkan budaya berfikir komprehensif dan mendasar terhadap semua fenomena atau obyek kajian filsafat.
Ilmu pengetahuan tidak mungkin dapat berkembang dengan baik, apabila tidak didukung dengan kajian-kajian filsafat. Dari filsafat kemudian dapat diturunkan menjadi teori-teori. Lalu, dari teori-teori itulah dilakukan penelitian sehingga menghasilkan teori ilmu pengetahuan dan teknologi (penelitian kuantitatif). Atau, sebaliknya dari filsafat ke kegiatan penelitian dan akhirnya menghasilkan teori (penelitian kualitatif). Dengan demikian, antara ilmu filsafat, penelitian, dan teori-teori ilmu pengetahuan memiliki hubungan resiprokal. Dalam konteks demikian, al-Qur’an memiliki kedudukan penting untuk mempurmudah ilmuwan merumuskan hipotesis-hipotesis penelitian.
Hipotesis adalah kebenaran teoritik, yang masih harus dibuktikan kebenarannya melalui penelitian-penelitian. Kebanyakan ayat-ayat kesemestaan yang dijelaskan dalam al-Qur’an merupakan penjelasan fenomena-fenomena alam. Inilah peluangnya bahwa al-Qur’an dapat dijadikan sumber perumusan hipotesis penelitian. Perlu diingat, informasi-informasi kemanusiaan, sosial, dan kesemestaan dalam al-Qur’an akan dapat dengan mudah dipahami dan memungkinkan dijadikan sebagai hipotesis penelitian, manakala didukung oleh penjelasan-penjelasan filsafat. Dengan demikian, ilmu filsafat, al-Qur’an, dan penelitian merupakan dasar penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pada titik ini, mudah dipahami bahwa ajaran Islam (terutama ayat-ayat kesemestaan dan sosial) hakikatnya merupakan sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua ajaran Islam dapat saja dikaji melalui persepktif filsafat ataupun ilmiah (scientific). Banyak konsep-konsep dalam al-Qur’an yang dapat dikaji melalui pendekatan filsafat. Sebagaimana jamak dipahami bahwa dalam kajian filsafat setidaknya mencakup tiga aspek, yaitu kajian aspek; ontologi, epistimogi, dan aksiologi. Ketiga level dalam kajian filsafat ini sangat mungkin dilakukan dengan menempatkan al-Qur’an sebagai obyek kajiannya. Dan, juga sebagai sumber pengetahuan untuk melakukan penejelasan-penjelasan awal terhadap obyek yang dikaji.
Mengkaji manusia dengan seluruh aspek-aspek didalamnya pada hakikan dapat dilakukan melalui pendekatan filsafat. Manusia adalah microcosmic, yang didalamnya menyimpan banyak ilmu pengetahuan. Semua unsur kemanusiaan; fisik dan psikhis-nya memiliki kedudukan penting sebagai obyek kajian kefilsafatan. Begitu halnya, penjelasan al-Qur’an tentang fenomena hubungan individu satu dengan individu lainnya. Diluar manusia, alam semesta (macrocosmic) juga mendapat porsi yang besar penjelasannya dalam al-Qur’an. Hal ini sangat memungkinkan ditindaklanjuti melalui kajian-kajian filsafat dan penelitian ilmiah. Manusia, interaksi manusia satu dengan manusia lainnya, serta fenomena alam semesta merupakan obyek kajian filsafat yang tidak pernah mati.
Pertama, aspek ontologi, misalnya mempertanyakan tentang hati manusia. Apa hakikat hati?, apa kedudukan hati dengan akhlak manusia? Dimana letak hati manusia? Apakah hati bersifat fisik atau non-fisik? Apakah hati dapat mati? Jika hati dapat mati, apakah hati tidak harus bertanggungjawab terhadap Tuhan di hari kiamat?. Bagaimana hati mempengaruhi perilaku manusia? Kedua, aspek epistimologi. Bagaimana hati dapat mempengaruhi perilaku manusia?, bagiamana cara hati dapat mengetahui baik dan buruk, boleh tidak boleh, halal haram, dan sebagainya. Ketiga, aspek aksiologi. Apakah hati mempengaruhi perilaku manusia? Bagaimana hati memahamkan pengetahuan manusia tentang moral, dll. #Nur Kholis.