teradesa.com. Kebanyakan tindakan seseorang, kelompok, dan negara berkutat pada ranah simbolik. Bahkan bahasa menjadi instrument represif seseorang atau kekuasaan untuk melegitimasi tindakan subyektifnya. Bentuk legitimasi bahasa terhadap suatu tindakan subyektif adalah melalui terbentuknya wacana. Meski tindakan subyektif itu menyalahi norma-norma sosial dan/atau agama, maka wacana itu menjadi dasar pembenaran yang esfisien.
Bahasa (apapun) membuat seseorang dapat saling berinteraksi dan pencerminan (mirroring) di wilayah imajiner. Selain itu, simbolik tidaklah tunggal, tetapi bisa bermacam-macam dan selalu dinamis (dapat berubah-rubah secara terus menerus). Sehingga seseorang tidak lagi berfikir pada, apa yang oleh Zizek dalam bukunya, violence, disebutnya sebagai the big other.
Sebagai contoh; Pertama, gerakan memerangi teroris yang dilancarkan oleh Amerika Serikat (AS) pasca tragedi 11 September 2001, yang dikenal sebagai peristiwa Selasa kelabu. Pengibaran perang melawan teroris sampai mempengarugi Negara-Negara di seluruh dunia. Bahkan sampai sekarang-pun setiap Negara memiliki unit khusus untuk melawan teroris. Di Indonesia dikenal dengan Densus 88.
Sebagai Negara adidaya, AS memiliki kuasa untuk mempengaruhi dan/atau menekan Negara manapun untuk terlibat dalam program memerangi teroris. Bahkan mengerahkan anggaran yang besar untuk tujuan ini. “Kuasa” secara sadar dapat membuat suatu narasi untuk melegitimasi tindakan dehumanisasi yang represif, massif, dan terstruktur. Dalam konteks ini, jelas AS berusaha mengeksklusi teroris dari “paradaban kita”.
Wacana dan gerakan untuk mengeksklusi teroris oleh AS menunjukkan ada yang salah dalam ranah simbolik, hal ini karena yang berjalan adalah logika totalitarian. Kekerasan simbolik yang terdapat dalam bahasa/narasi secara tidak langsung merujuk kepada suatu tahapan identifikasi Lacanian, yaitu fase oedipal, di mana identitas subyek dikukuhkan dihadapan kuasa the big other dalam wujud bahasa.
Negara-negara, kelompok, dan individu “follower” AS tidak pernah menjangkau tindakan obyektif, apa tujuan hakikat dibalik yang terjangkau oleh indra (simbolik) dari serangan perlawanan terhadap teroris yang dimotori oleh AS. Sebetulnya, mereka tahu, tetapi selalu ditutupi oleh tindakan subyektifnya sehingga yang muncul dipermukaan selalu “dikaburkan”. Tujuannya adalah untuk mendapatkan verifikasi dan legitimasi dari masyarakat bahwa tindakan dehumanisasi itu normal dan benar.
Kedua, praktik pesugihan dan seksual di gunung Bolo, Tulungagung. Juga dapat didekati dengan teori ini. Seseorang yang datang ke makam Roro Kembang Sore di bukit Bolo tujuannya untuk mendapatkan kekayaan instan. Mereka rela melakukan ritual pesugian dengan melakukan perzinaan dan penyembelihan kambing. Semua pasti mengetahui bahwa tindakan subyektif-nya itu menyalahi norma-norma agama dan/atau sosial. Tetapi demi untuk mendapatkan tujuannya itu mereka mengaburkan pengetahuannya itu.
Pengaburan itu-lah tindakan simbolik efisien dengan memaklumkan kepada semua komunitas pecinta Bolo. Maka, rame-rame datanglah “penjual seks” di bukit pusaran sehingga menjadi pasar sperma abadi. Bahkan semua khalayak dan pemerintah mempermaklumkannya sebagai hal yang normal, wajar. Ritual seks untuk mendapatkan kekayaan dan diakhiri dengan penyembelihan kambing adalah tindakan untuk mendapat verifikasi, yang bersifat sugesti. Dan, tidak pernah mengetahui hakikat bagaimana kekayaan itu akan mewujud (the big other).
Dari dua contoh yang agak kontradiktif itu, dapat kita tarik benang merah bahwa “kuasa” (individu, kelompok, pemerintah) selalu dapat mengaburkan hakikat tujuan tindakan obyektif dengan menyelimuti tindakan subyektifnya melalui narasi, wacana. Sehingga mendapatkan legitimasi, pembenaran dari khalayak. Meskipun sejatinya melanggar hakikat kemanusiaan. Dengan demikian, dapat dipahami, mengapa sekarang rame-rame ada pekerjaan baru, yaitu Buzzer.
Pengaburan dengan cara mendramatisasi suatu peristiwa melalui corong wacana dan narasi (bahasa). Wacana yang bersumber dari “penguasa” secara mudah akan mendapat permakluman (legitimasi), baik secara sukarela amaupun represif. Oleh karena itu, sebetulnya terkadang wacana akan menjadi instrument dehumanisasi atau kekerasan bagi individu, kelompok dan/atau pemerintah kepada masyarakat. Dan, semua tindakan khalayak hanya disetting pada ranah simbolik, yang berfungsi untuk permakluman. Cak Nur