Persimpangan Jalan Hidup

teradesa.com.  Mbak Nur dan Samirah adalah dua tokoh utama dalam sebuah film dokumenter, “ragat’e anak”. Seingat saya, film itu dibuat pada tahun 2009, oleh teman, Ucu Agustin atas biaya dari Yayasan Kalyana Shira, Jakarta. Tidak tanggung-tanggung film tersebut pernah sukses ditayangkan pada  Festival Film Internasional Berlin, tahun 2009.

Festival Film Internasional Berlin, juga dikenal dengan sebutan Berlinale. Sebuah festival film tahunan berskala Internasional yang diadakan di Berlin, Jerman, didirikan di Berlin Barat pada tahun 1951. Festival ini rutin diadakan pada bulan Februari sejak tahun 1978 dan menjadi salah satu “tiga besar” festival film bersama Festival Film Venesia di Italia serta Festival Film Cannes di Prancis.

Pasca pemutaran film tersebut, di Berlin. Bupati Heru Cahjono, pada saat itu merasa tersinggung, dan malu karena kejelekan masyarakat Tulungagung terbeberkan sampai di Jerman. Sikap reaktif ini, yang menjadi alasan utama penutupan lokalisasi Bolo, pada 4 Juni 2009. Penutupan ini disayangkan oleh Ucu Agustin, karena keputusan tersebut dianggap sepihak oleh pemerintah Kabupaten.

Yayasan CESMiD Indonesia, juga menyayangkan. Betapa tidak, program pencegahan HIV/AIDS pasti terhambat. Tetapi memang, trend pada saat itu, di beberapa lokalisasi di Kabupaten lain juga ditutup, misalnya Semampir, Kediri. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Family Health International, Indonesia (FHI) bahwa penutupan lokalisasi bukan penyeleseian yang baik untuk penanganan dan pencegahan laju perkembangan HIV/AIDS di Indonesia.

Sejak awal berdirinya, Yayasan CESMiD Indonesia, tahun 1999, visi utamanya adalah pembelaan terhadap komunitas marginal. Karenanya, sejak itu, CESMiD mendampingi kelompok-kelompok rentan di masyarakat, misalnya; anak jalanan, pekerja anak, gay, waria, wanita pekerja seks (WPS), dan lain-lain. Saya sendiri, di tahun 2003-2005 terlibat penelitian partisipatif pekerja anak, yang didanai oleh UNICEF.

Mengapa membela kelompok marginal penting? Terutama, pandangan Jacques Derrida, filosof modern asal aljazair tentang dekonstruksi-lah yang menjadi pondasi dedikasi ini. Pemaknaan kita terhadap suatu fenomena selalu tidak tunggal. Kebenaran, “kenormalan” juga tidak tunggal. Selalu ada kebenaran dan kenormalan lainnya, dibalik kebenaran yang dipahami oleh Pemerintah atau komunitas non-marginal. Dari konsepsi dekontruksi Derrida inilah, McQuilan memahami konsep dekonstruksi sebagai meminati yang marginal.

Mbak Nur dan Samirah, bagi saya adalah dua sosok “hero”, bukan “pelacur” dalam makna negatif. Sebagaimana masyarakat umum dan Pemerintah memahaminya. Betapa tidak, sebagai orang tua tunggal, untuk membiayai sekolah dan kehidupan 5 anaknya, minimal membutuhkan uang Rp. 1.500.000,-/bulan (2009). Pada siang hari, keduanya bekerja sebagai pemecah batu, di utara gunung Bolo. Sementara, di malam hari, mereka bekerja di gunung Bolo.

Kerja malam hari, baginya adalah kerjaan “sampingan”. Namun, dari kerjaan sampingan itu, banyak orang-orang yang menerima manfaat langsung maupun tidak langsung. Misalnya, para kiwir (sebutan pacar) WPS, para preman, pedagang minuman, dan beberapa stakeholder lainnya. Pencegahan HIV/AIDS dapat dilakukan secara mudah, karena mereka juga tergolong kooperatif dan memiliki kesadaran untuk sehat dan perilaku sehat.

Kiwir bukanlah sosok pacar yang melindungi dan mensejahterakan. Tetapi, justru sebaliknya. Saya lebih suka menyebutnya sebagai gulma (weeds). Mereka bersifat memaksa, memanfaatkan secara ekonomis atas dasar kekuasaan fisik dan kamuflase perlindungan. Bahkan, dalam suatu focus group discusion (FGD) yang pernah kami lakukan. Terlontar kalimat, “saya tidak memiliki hak atas tubuhku sendiri sekalipun”, Kata WPS.

Jalan hidup setiap orang selalu berbeda. Dan, dalam setiap perbedaan jalan hidup itu melahirkan perspektif yang berbeda pula dalam memaknai hidup dan kehidupan. Bagi masyarakat umum, bisa jadi memandang mereka sebagai orang tidak bermartabat. Tentu, berbeda dengan mbak Nur dan Samirah, dkk, kemartabatan ada pada keberlangsungan kehidupan keluarganya. Termasuk, memastikan semua anaknya dapat sekolah.

Penulis: Cak Nur, Pendiri Yayasan CESMiD Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top