teradesa.com. Teman jauhku namanya Cahya, ia berada di kota berbeda denganku. Aku kenal denganya sudah sekitar setahun yang lalu. Komunikasiku dengannya cukup intens. Jika ada sesuatu, aku selalu menceritakan kepadanya. Selama ini, komunikasi dengannya cukup menyenangkan.
Tetapi, tidak tahu, kenapa kali ini jawabannya tentang ceritaku begitu menyebalkan. Apa mungkin karena aku terlalu takut, cemas, bercampur dengan haus dan lapar. Sementara, harapanku cukup tinggi untuk aman malam ini. Sehingga menyebabkan semua jawabannya kurespon secara underestimate.
Untuk meghilangkan booring, kali ini aku membuka spotify, mendengarkan lagu favoritku dengan memakai headset, biar ga kedengaran dari luar, jika rumah tua ini kutempati malam ini. Sayup-sayup kudengar lagunya Novia Kolopaking dengan judul asmara.
“Sendiri, Ku kemas air mata di pipi, Tak percaya ku yang telah terjadi, Cintamu kini telah berbagi, Haruskah cinta aku akhiri, Hanya sampai di sini”.
“Tak mungkin, Aku berpaling dan menyesali, Tercabik hati ingin meronta, Jangan kau rejam gairah yang ada, Haruskah aku mengemis cinta, Untuk menghilangkah duka”.
Sampai habis lagu ini kudengarkan, pikiranku semakin cemas. Sementara, aku tidak mungkin chat lagi dengan Cahya. Aku tahu pasti jam 22.00 wib dia sudah tepar di atas bantal. Aku tahu kebiasaan dia, jam 22.00 wib selalu pamit tidur. Karenanya, tidak ada lagi teman chating untuk menghilangkan rasa takut dan membosankan ini.
Betul perasaanku. Kudengar lemparan batu di pintu rumah, ternyata meski aku pindah ke rumah orang tuaku. Mereka tetap mengetahui, teror dari preman kampungan itu datang lagi. Sementara, hausku semakin tak tertahan, seperti dehidrasi.
Mereka membentak-bentak dibalik pintu dan jendela depan. Aku mencoba untuk tidak menghiraukannya. Aku terdiam duduk bersimpuh di lantai. Seakan nafasku berhenti, tidak ingin bergerak, agar mereka tidak mengetahui aku di sini. Aku baru ingat pesan Cahya, agar memperbanyak ucapan dzikir.
“hasbunallah wanikmal wakil nikmal maula wa nikman nashir la haula wala quwwata illah billah”. Aku terus membaca dzikir ini dalam hati. Terus, dan terus. Semoga Allah swt menolongku untuk malam ini.
Preman itu terus berteriak, bahkan sepertinya mau membuka paksa pintu rumah. Aku merangkak ke dapur, untuk menghilangkan jejak. Kucoba untuk tidak peduli dengan preman-preman itu. Aku yakin, mereka tidak sendiri. Dasar preman kampungan, dengan perempuan saja beraninya main kroyok’an.
Di ruang dapur kucoba nge-chat Andika, adik sepupuku, yang jadi Polisi. Kukabarkan jika sepertinya kondisiku tidak aman malam ini. Andika masih ada tugas dari pimpinannya. Dia menegaskan bahwa jika sudah selesei tugas, dia akan segera ke rumah. Aku merasa agak lega. Semoga preman kampungan itu ditangkap dan dipenjarakan.
Preman kampungan itu bolak-balik kedepan dan ke belakang lewat samping rumah. Sepertinya mereka mencari celah untuk masuk kedalam rumah. Aku tidak berani bergerak dan menimbulkan suara, biar mereka berubah pikiran tidak mencariku lagi di rumah tua ini. Aku selalu berharap seperti itu bahwa mereka menganggap aku tidak berada di rumah ini.
Malam semakin larut, Andika yang kutunggu-tunggu belum juga nampak ke rumah. Sementara ketakutanku semakin meningkat, badanku gemetar, mataku berkunang-kunang. Dan, tiba-tiba aku tidak ingat apa-apa. Sepertinya pingsan. Menjelang shubuh, aku baru sadar.
“Andika, aku di mana?”. Tanyaku kepada adik sepupu yang ada disampingku.
“Mbak tadi pingsan, tergeletak di dapur. Untung aku sudah mempunyai kunci rumah. Aku mencari kesemua ruangan, ternyata pingsan di ruang dapur, makanya terus aku bawa ke rumah sakit”. Andika menjelaskan kronologi kejadian malam ini.
#5 cerbung, By Cak Nur