teradesa.com. Dalam konsep Islam, Rezeki adalah takdir muallaq yang dapat diubah sesuai dengan ikhtiar dan doa manusia. Ikhtiar hakikatnya adalah kewajiban manusia sebagai media turunnya rezeki. Banyak cara ikhtiar yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan rezeki, yaitu; ikhtiar secara halal, sesuai aturan norma agama dan sosial. Begitu juga, ada yang diikhtiarkan secara tidak halal, melanggar aturan agama dan norma kemasyarakatan.

Menurut Said Nursi, dalam kitabnya, al-Lama’at, halaman 272-274 bahwa rezeki terbagi dua: Pertama. Rezeki hakiki yang menjadi ketergantungan hidup seseorang. Rezeki tersebut dijamin oleh Allah Swt sesuai dengan QS. Az-Zariyat/51: 58, “Sungguh Allah, Dialah pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh”.

Dan, QS. Hud/11: 06, “Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya”. Setiap orang bisa memperoleh rezeki tersebut jika ikhtiar buruk manusia tidak ikut campur, tidak sampai mengorbankan agamanya, serta tidak menggadaikan kehormatan dan harga dirinya.

Kedua, rezeki majasi. Orang yang menyalahgunakan rezeki jenis ini akan terbelenggu oleh kebutuhan yang tidak penting di mana kemudian berubah menjadi kebutuhan pokok baginya akibat penyakit taklid (sikap meniru orang lain). Karena rezeki ini berada di luar jaminan Tuhan, maka biaya untuk memperolehnya sangat mahal, khususnya di zaman sekarang ini.

Harta tersebut seringkali diperoleh dengan cara menggadaikan kehormatan. Bahkan meskipun dengan mencium kaki orang. Lebih dari itu, kadangkala harta yang buruk dan tidak berkah tersebut harus dibayar dengan mengorbankan kesucian agama, padahal ia merupakan cahaya kehidupan yang abadi.

Selanjutnya, kepedihan yang lahir dari rasa kasihan kepada sesama lantaran kondisi yang dialami orang-orang lapar pada zaman di mana kemiskinan merajalela membuat para pemilik hati nurani merasa sedih jika masih memiliki hati nurani sehingga kenikmatan yang didapatkan dari harta haram menjadi pahit. Pada zaman yang aneh ini, seseorang harus membatasi diri dengan bingkai darurat dalam mempergunakan harta yang masih meragukan. Sebab, ada kaidah yang berbunyi:

“ﺍﻟﻀﺮﻭﺭﺓ ﺗُﻘَﺪّﺭ ﺑﻘﺪﺭﻫﺎ”

“Darurat dihitung sesuai kadarnya.”

Atas dasar itu, harta yang haram bisa diterima secara terpaksa dalam batas darurat, tidak lebih dari itu. Seseorang yang terpaksa tidak boleh memakan bangkai hingga kenyang. Tetapi ia boleh memakan bangkai tersebut untuk sekadar bertahan hidup. Selain itu, tidak boleh memakan makanan secara lahap di hadapan ratusan orang lapar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top