teradesa.com. Saya pernah menikmati film avatar di tahun 2009, karya James Cameron. Film ini, sebagiannya menceritakan tentang hubungan manusia dengan alam, yang digambarkan melalui konflik antara penduduk asli Pandora, Na’vi, dengan penjajah. Penduduk Na’vi hidup harmonis dengan alam, menghormati keanekaragaman hayati sebagai bagian dari kehidupan spiritualnya. Sebaliknya, penjajah mengeksploitasi sumber daya tanpa memperhatikan keseimbangan ekosistem, sehingga menciptakan kehancuran.
Hubungan manusia dan alam semesta memang bersifat dinamis, yang saling mengkooptasi. Dalam pandangan sejarawan awal, sering digambarkan sebagai ketundukan manusia terhadap kekuatan alam. Arnold Toynbee, misalnya menyoroti bagaimana peradaban pertama berkembang di bawah tekanan geografis, iklim, dan sumber daya alam. Ketergantungan manusia terhadap alam membentuk kepercayaan animisme dan mitos-mitos, yang kemudian mengkultuskan fenomena alam sebagai sesuatu yang sakral.
Pada saat itu, manusia menyesuaikan diri dengan alam melalui cara hidup nomaden dan agraris. Digambarkan oleh Jared Diamond dalam “Guns, Germs, and Steel”, bahwa manusia purba sangat dibatasi oleh lingkungan mereka. Mereka tergantung pada keberlangsungan alam, sehingga menjadikannya lebih tunduk terhadap ritme musim dan ketersediaan sumber daya alamiah. Nomaden adalah cara yang dipilihnya untuk bisa bertahan hidup.
Tidak demikian berikutnya, pada saat manusia berubah cara pandangnya, bahwa alam semesta seharusnya dijadikan sebagai obyek kajian, sehingga menghasilkan sainstek. Perkembangan ilmu pengetahuan menciptakan perubahan signifikan dalam relasi manusia dengan alam. Francis Bacon menekankan pentingnya menjadikan alam sebagai objek kajian. Hasilnya, manusia dapat memahami hukum-hukum alam secara rasional, yang kemudian membuka jalan baru bagi kemajuan sains dan teknologi.
Momentum pertama kali revolusi industri di Inggris (1760-18.30) menjadikan hubungan manusia dan alam mengalami perubahan besar. Karl Marx, misalnya mencatat bahwa eksploitasi sumber daya alam menjadi karakteristik dominan masyarakat industr-kapitalis. Alam tidak lagi dilihat sebagai entitas yang harus dikultuskan, melainkan sebagai sumber daya yang dapat dikuasai untuk keuntungan ekonomi dan industrialisasi.
Lynn White Jr membuat serangan kritik tajam terhadap fenomena eksploitasi alam yang berkembang seiring dengan dampak lingkungan yang signifikan. Menurutnya bahwa pandangan antroposentris dalam tradisi Barat bertanggung jawab atas krisis ekologis. Pemisahan manusia dari alam, menurutnya, memicu eksploitasi berlebihan yang mengancam keberlanjutan ekosistem dan kehidupan manusia sendiri. Ibaratnya, dalam jangka panjang manusia menggali kuburannya sendiri.
Keresahan demikian mulai menyelimuti para cendekiawan, Arne Naess dalam deep ecology theory, mengusulkan paradigma baru dalam hubungan manusia dan alam. Ia, juga mengkritik dominasi manusia atas alam dan menekankan pentingnya harmoni ekologis. Teori ini juga menggarisbawahi, hendaknya manusia tidak hanya menjadikan alam semesta sebagai sumber daya, tetapi juga sebagai bagian integral dalam kehidupannya.
Selain itu, pandangan sejarawan, seperti; Yuval Noah Harari menyoroti bagaimana teknologi modern menjadikan manusia sebagai “dewa-dewa” kecil yang mampu memodifikasi alam semesta seperti yang diinginkannya. Dibalik itu, ia mengingatkan bahwa keberlanjutan peradaban manusia sangat tergantung pada kemampuan manusia itu sendiri untuk hidup selaras dengan ekosistem yang mendukung keberadaannya.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan cerita film “the lorax” yang diproduksi tahun 2012, karya Dr. Seuss. Film ini mengilustrasikan dampak eksploitasi alam. Keserakahan manusia merusak hutan truffula untuk keuntungan industri mengakibatkan kehancuran lingkungan. Pesan film ini menekankan pentingnya tanggung jawab manusia terhadap alam, mengingat kesejahteraan masa depan manusia bergantung pada perlindungan ekosistem dari pengrusakan manusia yang egois. Cak Nur