Relasi Pejabat Pengusaha

teradesa.com. Tidak sengaja kemarin pas jumatan bertemu dengan teman lama, ketepatan dia salah satu pengurus ta’mir. Setelah melaksanakan sholat jumat, saya sempatkan mampir di kantor ta’mir untuk beberapa saat. Ngobrol ringan, salah satu topiknya adalah tentang keluarga, sampai membicarakan tempat anaknya bekerja. Anaknya lulusan S1 perpajakan di perguruan tinggi negeri di Surabaya.

Dari pembicaraan itu, ada satu hal yang menarik. Pengusaha di daerah-pun tidak bisa lepas dari “tempat persinggahan” para pejabat sipil dan/atau non-sipil. Tentu, pengusaha tidak mungkin mau rugi. Porsi anggaran untuk pajak-lah yang kemudian dicarikan konsultan, agar dapat “berbagi”. Konsultan pajak yang lebih tahu dan mampu “melancarkan & mengamankan” segala urusan pajak.

Jadi ingat, dulu saat masih mahasiswa, saya pernah diajak “bapak perwira” ke perusahaan di Ngunut. Saya tidak tahu persis apa urusannya kok ke perusahaan. Setelah beliau pindah ke Mabes, saya pernah berkunjung ke kantornya di Jakarta. Sekarang, baru ngeh, mungkin urusannya tidak lain seperti yang diceritakan teman di kantor majid itu, “silaturohim, ngopi, dll”.

Tidak hanya di kota besar, di daerah-pun relasi yang dibangun antar pejabat dengan pengusaha adalah hal yang “lumrah”. Bagi pengusaha, relasi yang baik dengan pejabat dapat lebih “save” dalam menjalankan bisnisnya, termasuk segala urusan akan mudah dan lancar. Sementara, bagi, pejabat akan dapat menjadi sumber pendapatan baru. Hubungan antara pengusaha dan pejabat demikian ini merupakan relasi reciprocal.

Relasi antara pejabat dan pengusaha yang demikian ini dapat dianalisis dengan teori patronase. Menurut teori ini, pejabat menyediakan kebijakan atau akses strategis, sedangkan pengusaha menawarkan dukungan finansial dan material. Hubungan tersebut sering mengarah pada pembentukan oligarki ekonomi, di mana sumber daya negara dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok kecil secara eksklusif.

Sejak masa imperialisme, pola ini tampak pada hubungan elite kolonial dan pedagang lokal. Penelitian menunjukkan bahwa kontrol terhadap sumber daya oleh elite politik dan ekonomi memperkuat ketimpangan sosial. Hal ini berlangsung hingga era modern, di mana hubungan “mesra” ini sering berujung pada korupsi dan eksploitasi sumber daya negara.

Program-program Negara kerap menjadi obyek utama hubungan ini. Berdasarkan teori sistem dunia Wallerstein, pengusaha diuntungkan melalui kontrak eksklusif, sementara pejabat memperoleh dana politik. Akibatnya, orientasi kebijakan lebih cenderung pada keuntungan ekonomi segelintir pihak dibandingkan kesejahteraan masyarakat luas. Dan tentu, akan menciptakan konflik kepentingan yang mendalam.

Penelitian yang dilakukan oleh Transparency International (TI) menunjukkan bahwa relasi ini mempengaruhi tata kelola pemerintahan. Negara dengan tingkat korupsi tinggi cenderung memiliki relasi erat antara pejabat dan pengusaha. Hal ini melemahkan demokrasi, karena keputusan politik dipengaruhi oleh kepentingan pribadi, bukan kepentingan publik, sehingga berdampak negatif pada pembangunan sosial dan ekonomi.

Tidak mudah memulihkan relasi demikian ke titik netral dan bersih. Setidaknya, untuk mitigasi dampak buruknya adalah penerapan good governance. Prinsip transparansi dan akuntabilitas harus ditegakkan melalui pengawasan ketat terhadap program Negara. Tentu, dibutuhkan pemimpin yang powerful dan bebas kepentngan. Beberapa kajian menunjukkan bahwa reformasi birokrasi yang inklusif mampu memutus praktik relasi patron-klien. Cak Nur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top