teradesa.com. Pada sesi pertemuan kuliah, mahasiswa saya bagi menjadi 4 kelompok. Mereka saya minta untuk merumuskan kecenderungan masa depan, target apa yang akan mereka capai, dan menyebutkan alasannya berdasar data, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Ini penting. Karena, mereka harus menjadi prioritas pengajaran literasi masa depan. Supaya mereka memiliki kecakapan untuk menataasa depan diri, bangsa dan negaranya.
Mumpung masih semester awal. Mereka harus membuat blue print, roadmape masa depannya dan kemanfaatan yang akan diberikan kepada masyarakat sekitarnya, umat dan bangsa tentu. Selain itu, yang dapat dijadikan dasar urgensi pengetahuan dan keterampilan futures literacy, adalah statemen John L. Petersen dalam bukunya yang berjudul, “out of the blue: how to anticipate big future surprise”, bahwa masa depan begitu cepat datang tanpa pengumuman sebelumnya.
Setidaknya terdapat dua asumsi yang mendasari teori-teori untuk memahami perubahan yang akan terjadi. Pertama, bahwa perubahan bersifat linier. Karena itu, perubahan bersifat kontinue. Data kuantitatif dan kualitatif serta temuan IPTEK saat ini mempengaruhi kecenderungan perubahan di masa mendatang. Kedua, perubahan bersifat zig zag. Karena itu, perubahan bersifat discontinue. Data dan temuan-temuan IPTEK tidak selalu mendasari perubahan berikutnya.
Secara makro, jika kita belajar dari perubahan peradaban dari Yunani ke Islam (timur tengah), maka asumsi pertama dapat dipahami. Perubahan itu dapat dikendalikan dan dikontrol, bahkan dapat direncanakan. Secara mikro sosial, misalnya, di era orde baru, pembangunan di Indonesia dikenal dengan periodesasi pembangunan jangka pendek, menengah, dan panjang. Periodesasi pembangunan mengikuti asumsi linieritas perubahan sosial yang dapat dikendalikan dengan pembangunan lima tahunan. Atau, dalam teori perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dikenal dengan model akumulasi pengetahuan atau teknologi.
Suatu teori atau teknologi dipahami selalu bersifat continue. Menyempurnakan suatu teori atau teknologi satu dari teori atau teknologi sebelumnya. Begitu halnya, suatu peradaban selalu menyempurnakan peradaban sebelumnya. Artinya suatu bangsa dan ilmuwan tidak bisa mengklaim sebagai penemu peradaban dan IPTEK tertentu. Selalu ada kontribusi peradaban dan IPTEK sebelumnya terhadap berikutnya.
Toh demikian, temuan IPTEK dan peradaban ada kalanya yang bersifat discontinue. Inilah, yang memunculkan teori baru berbasis chaos theory, seperti; butterfly effect, black swan, disruption dan lain sebagainya (saya sudah pernah menulis black swan di teradesa.com). Masa lalu, masa kini tidak dapat dijadikan dasar untuk memprediksi masa depan. Ada sesuatu yang terputus, disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya yang utama adalah chaos. Baik, yang disebabkan teknologi maupun perubaham sosial politik atau alam semesta.
Manusia pada dasarnya memiliki kapasitas mengidentifikasi dan memaknai continuitas dan discontinuitas dengan menggunakan daya imajinernya untuk mengantisipasi sesuatu yang belum ada, atau mengisi pojok-pojok dunia yang masih kosong. Masa depan yang cenderung imajin selalu dapat ditentukan oleh mereka yang memiliki ketrampilan memprediksi masa depan. Baik, menggunakan pola akademik maupun pola imajinasi bebas.
Kajian masa depan tidak cukup hanya menggunakan data atau teknologi continuitas, tetapi juga perlu mengembangkan kemampuan imajinatif yang dipadukan dengan penggalian tracit knowledge dari pengalaman dan keahlian yang membuka ruang-ruang dialogis serta penggalian gagasan kreatif dan inovatif. Perubahan besar yang kita rasakan saat ini tidak hanya dipengaruhi temuan para saintis, tetapi juga oleh kreator dan imajinator, orang-orang yang berpikiran bebas.
Dalam dunia penerbangan misalnya. Ketika Orvill dan Wilbur Wright (dua bersaudara yang hanya tukang bengkel dan lulusan STM) mampu menerbangkan pesawat yang dinamai wrigt flyer III pada 23 Juni 1905, semua ahli sain dan media Eropa mencemooh sinis dengan menyebut keduanya sebagai bluffeurs. Lihat, imajinasi, keberanian dan ketekunan keduanya melampaui semua itu. Kita sampai saat ini dapat menikmati menjangkau semua benua dalam hitungan jam/hari.
Di titik inilah, penulis ingin mengutip kalimat Wright bersaudara yang bernada optimis dan patut kita contoh, “if we worked on the assumption that what is accepted as true really is true, then there would be little hope for advance”. Jika kami bekerja dengan asumsi sebagaimana yang mereka terima sebagai kebenaran, maka nyaris tidak ada harapan untuk maju.
Saya kira, semua orang harus terus memperjuangkan masa depannya. Membangun optimisme, membebaskan pikiran di ruang alam semesta yang tak terbatas, meracik masa depan dengan imajinasi dan keberanian untuk mewujudkan sendiri atau berkelompok. Setiap anak muda perlu memiliki ketrampilan savad ayandeh (literasi masa depan) agar dapat merubah diri dan lingkuang sosialnya.
*Nur Kholis*
Jakarta, 10 Sept 2022