Sekali lagi; Membincang Tuhan, Manusia, dan Peradaban.

teradesa.com. Para ulama’, ilmuwan, sufi, dan masyarakat awam memaklumi bahwa Allah swt adalah wujud yang takterhingga. Meskipun ada banyak ayat al-Qur’an, dan al-Hadits menjelaskan tentang Allah swt dan ketuhanan, belum mencukupi untuk mendeskripsikan hakikat-Nya. Dalam sebuah Hadits Qudsi, misalnya, Allah swt menjelaskan diri-Nya, “Aku ingin mengenalkan diri-Ku bahwa Aku maha pengampun, maha penutup aib, maha indah, maha pengasih dan penyayang. Karena itu, Aku menciptakan makhluk supaya diri-Ku dikenali”.

Sebagai konsekuensi keinginan-Nya untuk dikenali, maka Allah swt menciptakan alam semesta dan isinya. Ketidakmampuan manusia mendeskripsikan Allah swt, bukan karena Ia tidak bisa dikenali. Tetapi, pancaindera dan akal pikiran manusia-lah yang tidak bisa menghadirkan keagungan-Nya dalam bentuk tulis, oral, dan imajinatifnya. Karena, sesungguhnya manusia dan semua potensinya bersifat terbatas.

Ini tidak berarti bahwa Allah swt tidak ada. Sebagaimana dalam prinsip scientific bahwa yang ada (wujud) adalah semua hal yang dapat dikenali oleh indera manusia (observable and measureble). Para filosof dan ilmuwan kemudian membuat suatu konsep bahwa semua hal yang diluar jangkaunnya adalah tidak ada, metafisika, atau misteri.

Sama saja ketika kita ditanya oleh orang luar desa tentang si fulan. Karena kita tidak tahu dia ada di desa kita, maka dengan mudahnya kita menjawab tidak ada. Contoh, hal misteri lainnya adalah black hole (lubang hitam) diluar angkasa. Ia adalah hal yang menakutkan, memiliki garvitasi yang sangat kuat sehingga cahayapun tidak dapat menembusnya. Apakah ia tidak ada? Ada, hanya karena tidak ada cahaya maka para ilmuwan tidak dapat mendefinisikannya.

Allah swt, bagi manusia adalah misteri dan metafisika. Hanya dengan memahami dan menyadari akan ciptaan-ciptaan-Nyalah, maka manusia dapat meyakini eksistensi-Nya. Renungilah, pahamilah, dan sadarilah bahwa tidak ada benda yang ada dengan sendirinya. Semua yang ada karena diadakan. Alam semesta dan manusia adalah tanda-tanda adanya Dia. “Niscaya Aku tunjukkan tanda-tanda Kami di ufuk-ufuk (cosmos) dan didalam diri mereka (manusia) agar nyata bahwa Dia adalah al-haqq (QS. Fushilat/42: 53).

Tugas manusia adalah meneliti semua fenomena-fenomena yang ada, sehingga dapat menyingkap misteri. Penyingakapan misteri itulah yang akan menghasilkan ilmu pengetahuan dan perdaban baru. Peradaban diperoleh hanya dengan membudayakan kajian, penemuan, dan pengembangan ilmu pengetahuan tentang macrokosmos dan microkosmos.

Pada dasarnya manusia diberi potensi yang tak-berhingga oleh Allah swt. Hanya, sebagian pikiran kita saja yang membatasinya. Ada keraguan, ketakutan gagal dalam menyeleseikan problem-problem dan/atau fenomena sekitar. Padahal, otak manusia akan terus bekerja sesuai dengan keinginan, semangat, dan terus berusaha menemukan penyeleseian masalah-msalah tersebut. Semakin banyak rangsangan atau stimulan, maka otak akan selalu dapat menyeleseikannya.

Konsep kerja ini disebut sebagai proses berkembangnya meilin di otak. Meilinisasi yaitu bertambahnya jaringan-jaringan antar sel syaraf didalam otak. Jaringan sel syaraf (meilin) akan berkembang dan bertambah setiap hari selama ia diajak memikirkan dan menyeleseikan masalah-masalah yang dihadapinya. Jadi, tidak mampunya manusia menemukan ketakberhinggaan (misteri) di alam semesta ini bukan karena manusia itu berhingga, tetapi karena keraguan dan ketakutan yang memagarinya.

Ketak-berhinggan manusia dalam mengenali, mengetahui, dan memahami misteri alam semesta dapat dilakukan secara akumulatif. Temuan satu oleh ilmuwan dapat diteruskan dan disempurnakan oleh temuan-temuan ilmuwan lainnya. Temuan-temuan pengetahuan dan teknologi ini pada akhirnya bermanfaat untuk memecahkan problem yang dihadapi oleh masyarakat. Akumulasi pengetahuan dan teknologi inilah yang kemudian membentuk peradaban.

Oleh karena itu, suatu peradaban tidak bisa diklaim milik komunitas masyarakat tertentu. Misalnya, tidak ada perdaban Islam, peradaban Barat, peradaban Amerika, peradaban China dan sebagainya. Inilah, mengapa sebagaian para akhli berkeyakinan bahwa hanya ada satu peradaban, yaitu peradaban milik semua bangsa-bangsa. Setiap kelompok, tokoh suatu bangsa dapat berkontribusi menyempurnakan temuan-temuan teknologi sehingga peradaban manusia semakin berkembang untuk memanusiakan manusia.

Manusia tidak akan dapat mengenali, memahami, dan menyadari tentang Allah swt, karena keduanya berada pada dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Hanya dengan terlepas dari ruang dan waktu itu, maka manusia dapat mengenali Allah swt. Manusia dan alam semesta selalu berpatronase dengan ruang dan waktu. Kehebatan manusia dibatasi oleh kehebatan manusia-manusia lainnya.

Tidak adanya ruang tertentu karena munculnya ruang baru lainnya. Begitu pula dengan waktu. Berakhirnya waktu tertentu karena adanya waktu lain yang baru. Sedangkan Allah swt, selalu ada didalam waktu dan ruang manapun, karena ia kekal (baqa’). Dengan demikian manusia tidak dapat menjangkau Allah swt, jika ia selalu mengandalkan akal dan inderanya, karena ia selalu dibatasi oleh ruang dan waktu. Tetapi ia dapat menjangkau alam semesta dengan cara kerja akumulatif dari satu generasi ke generasi berikutnya. #Nur Kholis.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top