teradesa.com. Sejenak merefleksi kondisi kebangsaan akhir-akhir ini sambil menikmati seruputan kopi ya. Setidaknya tiga dimensi yang menarik kita sorot, yaitu; dimensi model pembangunan ekonomi, akan berdampak pada dimensi pendidikan, kesehatan, lingkungan dan sosial. Kelima dimensi pembangunan ini, ibaratnya seperti teori deprivation trap. Ya, bangsa kita selalu akan terjebak pada lingkaran setan ketidakberdayaan.
Pertumbuhan ekonomi yang hanya didorong oleh pembangunan padat modal cenderung memperkuat ketidakadilan sosial. Sektor-sektor yang mengandalkan modal besar sering kali hanya menguntungkan segelintir elit ekonomi. Akibatnya, kesenjangan antara orang kaya dan mayoritas rakyat semakin melebar. Distribusi pendapatan menjadi tidak merata, memperparah kemiskinan dan mengurangi peluang bagi masyarakat kelas bawah. Hal ini berpotensi menghambat stabilitas sosial dan ekonomi jangka panjang.
Untuk menjaga stabilitas sosial, pemerintah mengeluarkan program karitatif seperti subsidi terbatas. Memang hal ini dapat membantu golongan miskin, tetapi peningkatan pajak yang tidak proporsional justru berpotensi menekan kelas menengah. Kelas ini sering kali menjadi tulang punggung ekonomi. Ketika pajak meningkat tanpa diimbangi dengan insentif yang tepat, kelas menengah bisa mengalami demosi, ke kelompok miskin, memperlebar ketimpangan dan menghambat pertumbuhan ekonomi inklusif.
Ketika pemerintah memprioritaskan investor padat modal, seperti pertambangan, dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat tidak terhindarkan. Aktivitas pertambangan merusak ekologi, mencemari air bersih, dan mengganggu keseimbangan alam. Dampak lingkungan ini memperburuk kualitas hidup masyarakat sekitar, terutama dari sisi kesehatan, serta menciptakan ketidakadilan antara keuntungan ekonomi bagi segelintir pihak dan kerugian sosial-ekologis bagi mayoritas.
Dalam jangka panjang, kerusakan lingkungan akibat pembangunan padat modal menghambat pembangunan manusia. Anak-anak yang mengalami gangguan kesehatan, menajdi raw input pendidikan dengan skala rendah, sehingga mutu pendidikan menurun. Kesenjangan ekonomi yang melebar juga memperburuk akses terhadap pendidikan, menghambat pemerataan pendidikan di masyarakat. Akibatnya, pembangunan manusia yang optimal sulit tercapai, memperparah siklus ketidaksetaraan sosial.
Ketika raw input pendidikan rendah, program mutu persekolahan sulit mencapai hasil optimal. Meski subsidi 20% dari anggaran digunakan sebagaimana diamanatkan undang-undang, namun fokusnya lebih pada infrastruktur dan gaji rutin pegawai, sehingga program kreatif sekolah terbatas. Disisi lain, fenomena korupsi diberbagai lini pendidikan memperparah situasi, menghambat alokasi dana yang seharusnya dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas belajar, yang akhirnya merugikan murid dan mutu pendidikan secara keseluruhan.
Yang terjadi adalah fragmentasi sosial semakin melebar, ketika kelompok kaya mendapatkan berbagai fasilitas dari pemerintah, meski minim kreativitas. Sementara itu, masyarakat miskin terjebak dalam keterbatasan, sehingga sulit memenuhi kebutuhan dasar, apalagi berinovasi atau berkreativitas. Ketimpangan ini justru akan memperdalam jurang sosial-ekonomi, memperlambat mobilitas sosial, dan menghambat potensi pembangunan masyarakat secara keseluruhan, baik dari sisi ekonomi maupun sosial.
Yang terakhir, budaya selfie yang berkembang di kalangan masyarakat kaya sering kali memperlihatkan rendahnya empati, di mana mereka cenderung menunjukkan sikap humblebrag, yaitu berpura-pura rendah hati sambil memamerkan kekayaan atau status. Fenomena ini dapat memperkuat jurang sosial, memperlihatkan ketidakpedulian terhadap kesulitan yang dialami kelompok miskin. Sikap tersebut justru dapat memperparah ketidakadilan sosial dan mengganggu solidaritas, sehingga memperkuat fragmentasi di masyarakat.
Dalam jangka waktu tertentu, pertemuan antara kelas miskin dan kelas menengah yang semakin rentan dapat menciptakan dinamika sosial yang kritis. Ketika ketidakpuasan terhadap ketidakadilan ekonomi dan ketimpangan sosial memuncak, kesadaran kritis di kalangan masyarakat akan berkembang. Ini berpotensi dapat memicu gelombang reformasi jilid 2, di mana tuntutan perubahan struktural dan keadilan sosial menjadi agenda utama, menggeser kebijakan yang tidak merata. Tapi, jangan khawatir, karena agenda Presiden terpilih Prabowo Subianto, semua gratis. Wkwkwkw. Cak Nur