Sistem Kepercayaan Menghambat Perubahan? Begini Analisisnya.

0
307

teradesa.com. Sistem kepercayaan yang berkembang di masyarakat dapat dikategorisasikan menjadi dua, yaitu; sistem kepercayaan agama, dan sistem kepercayaan keagamaan (baca: mitos atau tradisi). Sistem kepercayaan yang dibangun oleh agama bersumber dari ajaran-ajaran yang diabadikan dalam kitab suci masing-masing agama. Agama-agama yang berkembang dan dipercayai oleh masyarakat di Indonesia ada dua, yaitu; agama-agama samawi dan agama-agama ardli. Kitab-kitab suci agama samawi bersumber dari Tuhan, yang diturunkan melalui wahyu. Sementara, kitab-kitab suci agama ardli dituliskan berdasarkan hasil pemikiran pencetus masing-masing agama tersebut.

Sistem kepercayaan mitos atau tradisi bersumber dari imajinasi, pemikiran, dan kebiasaan-kebiasaan yang diyakini oleh sekelompok orang. Sistem kepercayaan ini hampir sama dengan sistem kepercayaan agama-agama ardli. Hanya bedanya, sistem kepercayaan agama ardli dibadaikan dalam bentuk kitab suci. Sementara sistem kepercayaan mitos atau tradisi tidak selalu ditulis atau didokumentasikan, bahkan kebanyakan bersifat lisan. Diturunkan dan diajarkan melalui media gethok tular (bil lisan). Inilah, makanya lebih kepamahaman mitos. Pada masyarakat tradisionalis, sistem kepercayaan ini sulit dirubah dan bahkan kadang cenderung menghambat perubahan.

Pada titik ini, kemudian kita bersinggungan dengan model masyarakat di Indonesia. Secara umum masyarakat cara berfikirnya dapat dibagi menjadi dua model. Pertama, kelompok masyarakat modern. Ciri utama masyarakat modern adalah cara berfikir yang simpel, obyektif, rasional, dan cenderung individualis. Kedua, kelompok masyarakat tradisionalis. Mereka ini masih sangat kuat dalam meyakini ajaran-ajaran dan nilai-nilai yang telah berkembang secara turun temurun. Mereka mudah mengikuti apa yang dikatakan oleh orang tua atau nenek-neneknya ketimbang informasi yang diperoleh dari membaca dan berfikir kritis.

Kedua sistem kepercayaan tersebut terus berkembang di kedua kelompok masyarakat, dan diyakini sebagai suatu kebenaran yang harus diabadikan dan diamalkan dalam kehidupan kesehariannya. Agar sistem kepercayaan tersebut dapat diamalkan, maka perlu diturunkan kedalam norma dan nilai-nilai agama dan/atau masyarakat. Norma dan nilai-nilai perilaku yang bersumber dari agama/kitab suci, lebih mengikat dan kuat di masyarakat. Berbeda dengan norma dan nilai yang bersumber dari mitos atau tradisi, ia lebih mudah luntur. Tentu, hal ini lebih banyak dipengaruhi oleh model perkembangan masyarakatnya. Yaitu, masyarakat modern atau-kah tradisionalis.

Norma adalah standar sikap dan perilaku yang seharusnya diimplementasikan oleh setiap individu dalam kehidupan diri, keluarga, dan bermasyarakat. Sedangkan, nilai-nilai adalah panduan perilaku keseharian kelompok masyarakat. Terdapat keyakinan di masyarakat bahwa melaksanakan perilaku sesuai standar sistem kepercayaan agama akan mendatangkan pahala atau kesenangan Tuhan. Dan, sebaliknya mengingkari standar perilaku agama akan mendatangkan kemurkaan Tuhan (siksaan/hukuman). Sementara, melaksanakan perilaku sesuai standar norma dan nilai sistem kepercayaan tradisi melahirkan keseimbangan hidup berkelompok. Dengan demikian, mengimplementasikan perilaku sesuai standar norma dan nilai agama dan mitos/tradisi dapat mendatangkan manfaat bagi diri dan masyarakat.

Secara historis, terdapat sistem kepercayaan yang menghambat perubahan dan sebaliknya terdapat sistem kepercayaan yang justru memberi jalan berkembangnya perubahan; dari tradisionalis ke modern, dari irrasional ke rasional, dari tidak beradap ke peradaban yang baik. Tugas individu atau kelompok masyarakat adalah memilih dan memilah sistem kepercayaan yang sejalan dengan dinamika dan perkembangan masyarakat. Misalnya, mengapa terdapat peristiwa aufklarung di abad 17 Masehi? Ya diantaranya karena adanya reaksi sastrawan, budayawan, dan ilmuwan terhadap dominasi gereja dan kerajaan di Negara-negara Eropa, terutama di Perancis, Inggris, dan Jerman. Peristiwa ini diawali oleh peristiwa Renaissance. Keberhasilan gerakan ini menumbuhkan kepercayaan masyarakat untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran bebas, produktif, dan mengarah pada modernitas.

Berbeda dengan sistem kepercayaan Islam yang berkembang di abad pertengan Masehi. Sistem ini dapat berkembang dan berjalan saling melengkapi dengan perkembangan kenegaraan, pemikiran, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Perkembangan perdaban Islam banyak ditopang oleh sistem kepercayaan agama Islam yang cenderung rasional, dan sesuai dengan fakta-fakta atau fenomena kesemestaan. Bahkan, sebagian ayat-ayat kesemestaan didalam al-Qur’an berfungsi menjelaskan fenomena alam. Sebagian ilmuwan memiliki pandangan bahwa ayat-ayat dalam al-Qur’an dapat dijadikan sebagai “hipotesis” dalam melakukan penelitian untuk menghasilkan teori dan teknologi. Misalnya, pada QS. al-Anbiya/21: 30, Allah swt menjelaskan tentang fenomena ledakan besar yang mengawali terbentuknya alam semesta, juga fenomena air sebagai awal semua makhluk.

Sistem kepercayaan agama atupun mitos/tradisonal yang tidak sejalan dengan dinamika pemikiran dan perkembangan masyarakat cenderung ditinggalkan. Karena sistem kepercayaan bagi suatu masyarakat tidak hanya difungsikan untuk ketenangan diri individu. Tetapi juga untuk menopang kebutuhan-kebutuhan kehidupan sosial individu dan masyarakat. Kedua kebutuhan ini hendaknya dapat dipenuhi oleh sistem kepercayaan. Karena pada dasarnya semua kelompok masyarakat menginginkan kemajuan (progress). Kemajuan hanya mungkin diwujudkan jika didasarkan oleh rasionalitas, dan empirisitas. Dengan demikian, sistem kepercayaan yang justru menghambat perubahan dan perkembangan kelompok masyarakat perlu ditafsir ulang dan/atau dimasukkan kedalam tong sampah. #Nur Kholis.

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here