teradesa.com. Sejak setahun ini saya menerapkan hidup slow living. Dari artinya sudah dapat ditebak bahwa konsep ini mengarah pada pemahaman konsep dan implementasi hidup secara apa adanya, simple dan tidak mengada-ada. Hidup apa adanya pasti terasa nyaman. Seperti tidak punya uang, tetapi cukup. Hidup itu murah, yang mahal merk dan gengsi. Lalu apa yang saya lakukan, sederhana saja;
Pertama, mematikan keinginan dan pengendalian diri. Kontrol diri terhadap keinginan adalah langkah awal untuk mencapai keseimbangan keuangan. Mengurangi kecenderungan untuk memenuhi keinginan impulsive itu penting. Misalnya, ingin membeli mobil apalagi dengan berhutang. Ditanyakan dulu untuk apa mobil? Jika sangat penting mendukung aktifitas sehari-hari, it’s okay. Lalu, ditanya lagi dengan cara menabung dan membeli sesuai budget atau berhutang?
Hutang? Tidak-lah. Saya sudah berjanji dengan diri sendiri dan istri untuk tidak berhutang lagi. Mobil akan saya beli sesuai adanya uang dengan menabung dulu setahun. Toh, sekarang di rumah ada mobil tetangga yang setahun ini dititpkan di rumah. Ini adalah bagian dari rizki, Alhamdulillah. Kapan saja boleh dipakai; ke kampus, sambang anak ke pondok, sambang orang tua di Gresik.
Pengendalian keinginan seperti ini melibatkan regulasi pada prefrontal cortex. Prefrontal cortex berada dalam area otak dibagian depan sebelah atas, dibawahnya adalah system limbic. Prefrontal cortex berfungsi mengatur keputusan-keputusan yang bersifat rasional. Kemampuan demikian akan diperoleh, jika kita mampu mengelola keinginan dan mengurangi stres finansial, sehingga dapat menciptakan kebiasaan konsumsi yang lebih sehat dan rasional.
Berdasarkan teori utilitas dapat dipahami bahwa keputusan konsumsi harus didasarkan pada nilai manfaat barang yang akan dibeli. Otak kita sesungguhnya mendukung ini dengan konsep, yang disebut sebagai, reward system otak. Misalnya, dengan mempertimbangkan urgensi pembelian barang, maka kita telah melatih otak untuk fokus pada prioritas, sehingga meningkatkan stabilitas keuangan, dan meminimalkan risiko hutang yang membebani kehidupan jangka panjang.
Kedua, optimalisasi space rumah. Memanfaatkan sumber daya yang ada, seperti pekarangan rumah. Sederhanya saja, pasti terdapat space disekitar rumah yang dapat digunakan untuk menanam sayur, buah, ternak lele, ayam dll. Tidak perlu banyak, hanya untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga. Hidup di desa, seperti saya pasti setiap hari ada makanan yang tidak habis, apalagi jika ada kenduren, ini bisa dimanfaatkan untuk makanan ternak ayam.
Beternak dan bertani sayur di rumah memiliki banyak manfaat untuk merefresh otak. Karena kegiatan seperti ini dapat menstimulasi hormon serotonin, sehingga memberikan rasa kepuasan emosional. Ya, mirip dengan menulis, mengapa setiap hari saya menulis? Karena ada kepuasan. Selain itu, tentu, pemenuhan kebutuhan harian di sekitar rumah dapat meminimalkan pengeluaran dan menciptakan keterhubungan yang lebih erat dengan lingkungan.
Ketiga, menurunkan pengeluaran didawah pendapatan. Pengeluaran harus ditekan selalu lebih kecil dari pendapatan untuk menciptakan tabungan dan investasi. Hidup sederhana dapat mengurangi tekanan pada sistem limbik, sehingga membantu seseorang lebih fokus pada perencanaan keuangan jangka panjang. Menurunkan pengeluaran juga menciptakan peluang untuk membangun kebiasaan hemat, tetapi tidak kikir lho ya, yang berdampak pada kesejahteraan emosional dan finansial.
Keempat, mengurangi aktivitas diluar rumah. Waktu yang lebih banyak di rumah dapat dimanfaatkan untuk hal-hal yang baik, misalnya berkebun, beternak, sholat berjamaah dengan keluarga, membaca al-Qur’an, berdzikir dan bisa fokus menulis. Kegiatan semacam ini dapat mengurangi stres dan meningkatkan koneksi sosial dalam keluarga. Jika bisa fokus pada aktivitas yang lebih bermakna di rumah, maka dapat mengurangi kebutuhan konsumsi eksternal dan menciptakan pola hidup yang lebih tenang dan produktif.
Kelima, berolahraga untuk hobi dan kesehatan. Menjaga kesehatan untuk produktivitas itu adalah kunci prinsip hidup slow living. Saya lebih memilih olah raga yang simple, misalnya jogging, dan renang. Olahraga rutin selain dapat menjaga kesehatan tubuh, tetapi juga dapat meningkatkan pelepasan endorfin yang menstimulasi kebahagiaan. Jika kita sehat, ujung-ujungnya maka dapat melakukan penghematan yang signifikan, selain manfaatnya dalam mengurangi kecemasan dan meningkatkan fokus.
Sampai disini saya berkesimpulan bahwa slow living merupakan strategi hidup sehat jasmani, ruhani dan ekonomi. Konsep slow living mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak selalu terkait dengan konsumsi material. Menurut teori kebutuhan dari Maslow bahwa kebutuhan dasar dan aktualisasi diri dapat dicapai tanpa adanya tekanan konsumtif yang berlebihan. Saya kira gaya hidup demikian ini juga berfungsi mengurangi stimulasi berlebihan pada sistem saraf, menciptakan rasa puas dan ketenangan yang mendukung kesejahteraan mental.
Slow living itu mengimplementasikan hidup hemat tetapi tidak kikir. Karena kebiasaan hemat itu mencerminkan pilihan hidup yang rasional berbasis nilai jangka panjang [di dunia dan di akhirat]. Ingat! pengulangan kebiasaan hemat dapat menguatkan jalur saraf yang mendukung perilaku ekonomi yang sehat. Dengan pola pikir ini, seseorang tidak hanya mengurangi pengeluaran, tetapi juga membangun fondasi mental untuk hidup lebih berkecukupan dan stabil.
Nah, yang terakhir, slow living bukan sekadar cara untuk menghemat, tetapi juga strategi untuk membangun kesejahteraan keluarga jangka panjang. Sepertinya gaya hidup yang menggabungkan aktualisasi nilai-nilai beragama, kesederhanaan, dan pengendalian diri yang kuat untuk tidak terprovokasi iklan konsumeristik perlu dicoba. Yuk, kita renungkan, “kaya dulu kemudian slow living ataukah slow living untuk menjadi kaya?”. Cak Nur.