teradesa.com. Socrates adalah seorang filsuf yang percaya bahwa kebijaksanaan sejati tidak datang dari menerima informasi begitu saja, tetapi dari bertanya dan berpikir kritis. Ia tidak mengajar seperti guru pada umumnya, melainkan menggunakan dialog untuk memfasilitasi murid-muridnya menemukan jawaban sendiri. Ia meyakini bahwa dengan mempertanyakan keyakinan yang sudah ada atau suatu objek kajian tertentu, seseorang bisa mencapai pemahaman yang lebih dalam.
Teknik yang digunakannya adalah elenchus (pemeriksaan silang). Ia mengajukan pertanyaan yang bersifat mengkritisi pendapat seseorang atau muridnya, lalu terus menggali hingga muridnya menyadari bahwa pemikirannya mungkin tidak sekuat yang ia kira. Meskipun demikian, Socrates tidak memberikan jawaban final, melainkan hanya membantu melihat kontradiksi dalam pemikiran mereka sendiri (murid).
Salah satu contoh terkenal adalah dialognya dengan Euthyphro, muridnya yang mengklaim bahwa ia tahu apa itu kesalehan. Socrates menanyakan apakah sesuatu itu saleh karena disukai para dewa, atau para dewa menyukainya karena itu saleh?. Pertanyaan ini membuat Euthyphro berpikir ulang, karena jawaban apa pun yang ia berikan membawa konsekuensi yang sulit diterima (dilematis).
Selain itu, Socrates sering berdiskusi di tempat-tempat umum seperti Agora di Athena, tempat banyak orang berkumpul. Metode ini membuat percakapannya bisa disaksikan oleh banyak orang, yang kemudian ikut berpikir dan berdebat. Ia percaya bahwa pengetahuan tidak boleh hanya dimiliki oleh segelintir orang, tetapi harus menjadi sesuatu yang bisa diakses oleh semua orang.
Namun, pendekatan ini membuat banyak orang merasa tidak nyaman, terutama mereka yang memiliki kekuasaan. Socrates sering membongkar kelemahan argumen para pemimpin dan kaum elit, dan karenanya mereka merasa terancam oleh metode Socrates. Ia dianggap sebagai orang yang merusak pemikiran anak-anak muda di Athena, karena telah mengajarkan mereka untuk mempertanyakan otoritas dan tradisi yang sudah ada.
Namun demikian, metodenya tetap hidup hingga sekarang dan menjadi dasar dalam pendidikan, terutama dalam pengajaran filsafat, hukum, dan ilmu sosial. Beberapa perguruan tinggi menggunakan metode socratic dialogue ini untuk melatih para mahasiswa berpikir logis dan kritis. Dengan bertanya, bukan hanya menerima, seseorang bisa menjadi pemikir yang lebih tajam dan tidak mudah terpengaruh oleh dogma.
Di negara-negara maju, metode socratic dialogue diterapkan dalam perkuliahan untuk mendorong mahasiswa berpikir mandiri. Di Amerika Serikat, misalnya, metode ini digunakan di fakultas hukum, di mana mahasiswa didorong untuk mengajukan dan menanggapi pertanyaan yang menantang argumen mereka sendiri. Pendekatan ini membantu mereka memahami konsep hukum secara lebih mendalam dan tidak hanya menghafal peraturan.
Di Inggris, metode socratic dialogue digunakan dalam seminar filsafat dan ilmu sosial. Mahasiswa diajak untuk menganalisis berbagai perspektif, menguji argumen, dan mempertahankan pendapat mereka dengan bukti yang kuat. Dengan cara ini, mereka belajar untuk berpikir lebih terbuka dan kritis terhadap berbagai isu yang kompleks.
Di Jerman, metode ini diterapkan dalam diskusi akademik berbasis penelitian. Mahasiswa tidak hanya diminta membaca literatur, tetapi juga berdiskusi secara mendalam tentang makna dan implikasi dari teori yang mereka pelajari. Pendekatan ini membantu para mahasiswa dalam mengembangkan kemampuan analitis yang kuat. Dan, mampu menghubungkan teori dengan praktik nyata atau isu-isu lain yang mutakhir.
Saya kira, metode socratic dialogue ini masih menarik untuk diadopsi, terutama diterapkan pada mata kuliah social science. So, dengan terus bertanya dan menguji ide, mahasiswa dapat mengasah kemampuan berpikir kritis mereka, memahami sudut pandang yang berbeda, dan membuat keputusan yang lebih bijak dalam kehidupan akademik maupun profesional mereka kelak. Cak Nur