teradesa.com. Tidak seperti biasanya, ujian akhir semester [UAS] kali ini saya lakukan dalam bentuk tes lisan. Ada tiga materi inti, yaitu; membaca al-Qur’an, hafalan surat pendek, dan presentasi pendalaman materi kuliah. Tes membaca al-Qur’an dan hafalan surat pendek, hanya bersifat menyaring, jika terdapat mahasiswa yang bacaannya kurang bagus, saya bisa menyarankannya untuk diperbaiki.
Apapun jurusannya, lulusan UIN bagi masyarakat dianggap mampu agama. Minimal jika diberi tugas sebagai imam sholat fardlu dapat dijalankan dengan betul, apalagi jika dites calon mertuanya? Harus mahir dunk, karena calon imam bagi anaknya. Jika diminta menjadi MC rutinan yasinan, aman & rembes. Apabila diminta menjadi imam tahlil dan yasinan, bisa. Itu, standar minimal hidup di masyarakat.
Dari rangkaian tes lisan UAS, menurut saya, rata-rata kemampuan analisis dari mahasiswa tidak ada yang mampu [sangat kurang]. Ada dua dugaan, yaitu; Pertama, takut. Bisa jadi takut berhadapan face to face dengan dosen. Ketakutan ini hanya mungkin karena tidak terbiasa berdebat, hanya mendengar ceramah. Kedua, minim bacaan. Rata-rata mahasiswa budaya baca dan menulis-nya sangat kurang.
Ini, memprihatinkan. Daya kemampuan mahasiswa masih di level 1 [C1], yaitu pengetahuan. Seharusnya, minimal kemampuannya adalah pada level 4 [C4] yaitu menganalisis. Ada kebiasaan yang tidak baik di kelas. Rata-rata mahasiswa yang ditugaskan untuk diskusi; mulai dari menulis, presentasi, bertanya dan menjawab, semuanya teks book, aliyas membaca di handphon, ChatGPT kali.
Pendalaman yang dilakukan oleh dosen nyaris tidak ada yang mendebat, menyangkal atau berargumen alternatif. Sering mereka harus dipaksa untuk bertanya. Jika mereka dimarahi karena “sepi”-nya kelas dari budaya debat, mereka hanya diam. Pada akhirnya, dosen speechless. Sepertinya militansi mahasiswa harus ditingkatkan untuk belajar ngeyel dan “menakali” dosen. Kan ga seru juga, jika mengajar tidak ada yang bertanya, apalagi mendebat.
Baiklah, sedikit saya ingin memahami fenomena ini menggunakan pendekatan psikoanalisis. “Ketakutan” mahasiswa mungkin berasal dari mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) yang dipicu oleh tekanan akademik. Mereka menghadapi “superego” yang menginternalisasi standar tinggi dosen, menyebabkan rasa cemas (anxiety). Proses ini menunjukkan adanya konflik batin dan ketidaksiapan menghadapi dialog kritis.
Minimnya kebiasaan berdebat mencerminkan pola adaptasi yang menghindari tantangan akademik. Hal ini dapat dihubungkan dengan konsep fixation, di mana individu merasa lebih nyaman menjadi penerima pasif daripada partisipan aktif. Kelas yang dominan ceramah memperkuat pola ini, mendorong mahasiswa untuk tidak mampu mengembangkan keterampilan analitis. Akibatnya, mahasiswa tidak terbiasa mengolah ide secara mandiri dan kreatif.
Rendahnya budaya membaca dan menulis mencerminkan rendahnya proses eksplorasi pengetahuan. Kondisi ini bisa jadi terkait dengan lemahnya daya idealis. Selain itu, kebiasaan anak-anak sekarang adalah membaca cepat dan pendek, tanpa dibarengi pemahaman bermakna, apalagi pemahaman fungsional. Kebiasaan scroll medsos mempola kedalam kebiasaan pada pembacaan akademik, yaitu membaca cepat tanpa pemaknaan.
Ini fenomena baru, ketergantungan pada teks dari ponsel saat diskusi. Dalam kajian psikoanalisis disebut sebagai mekanisme sublimasi. Alih-alih berupaya menghasilkan analisis mandiri yang kreatif dan mendalam, mereka malah menggunakan teknologi digital AI untuk menghindari berfikir kritis. Superego yang harusnya mendorong kedisiplinan sering kali digantikan oleh keinginan [id] untuk mengambil jalan pintas.
Setidaknya ini, harus menjadi titik renungan bersama untuk perbaikan pola pembelajaran. Dosen perlu menjadi fasilitator yang baik dan kreatif sehingga dapat mendorong kelas menjadi lebih hidup. Para mahasiswa perlu memiliki kesadaran mendalam bahwa kemampuan analisis [C4] diperlukan untuk mengungkap dibalik obyek [fakta], sehingga memungkinkan baginya untuk mengevaluasi [C5] dan menawarkan pemikiran, ide, dan gagasan alternatif [C6]. Sehingga, mereka terbiasa menjadi seorang kreator dan penemu di masa mendatang. Cak Nur