teradesa.com. Semua ciptaan (makhluk) memiliki takdirnya masing-masing. Menurut Syeikh Ibnu Atho’illah, “kekerasan semangat perjuangan (himmah) tidak dapat menembus tirai takdir”. Takdir adalah hukum sebab akibat (sunnatullah) yang berlaku bagi semua makhluk (baik/buruk) sesuai ketentuan Allah swt. Takdir merupakan hak kuasa Allah swt yang sudah ditetapkan sejak zaman azali. Takdir tidak dapat berubah karena ikhtiar manusia.
Takdir dijelaskan dalam al-Qur’an sebanyak empat kali, yaitu pada Surah al-An’am ayat 96, Surah al-Furqan ayat 2, Surah Yasin ayat 38, dan Surah Fussilat ayat 12. Dari keempat ayat tersebut, kata takdir dikaitkan dengan penciptaan alam semesta dan seluruh isinya. Allah swt menciptakan dan menetapkan ukuran-ukurannya. Ini artinya bahwa takdir ada berbarengan dengan penciptaan makhluk. Selain itu, makna takdir berdasarkan empat ayat di atas dapat dipahami sebagai berikut.
Pertama, takdir berlaku untuk fenomena alam, artinya hukum dan ketentuan dari Allah swt mengikat perilaku alam sehingga hukum sebab akibat yang terjadi di alam ini dapat dipahami manusia. Kedua, takdir Allah swt terkait hukum sosial (sunnatullah). Hukum ini melibatkan manusia didalamnya. Ketiga, akibat dari takdir dalam arti hukum kepastian Allah swt, baru diketahui hanya setalah berada di akhirat kelak.
Tidak seorang-pun dapat mengetahui takdirnya; baik-buruk, kaya-miskin, beruntung-merugi, sehat-sakit, hidup-mati—semua ini hanya dapat diketahui kelak di akhirat. Untuk itu, manusia ditakdirkan untuk selalu memperjuangkan hidupnya menjadi lebih baik. Perjuangan menjadi baik harus dilakukan dengan mengerahkan seluruh potensi yang diberikan Allah swt, baik potensi jasmaniah, ruhaniah, relasi sosial, maupun relasi manusia-alam.
Tetapi, jangan sampai memiliki pandangan (keyakinan) bahwa dengan usaha (himmah) seseorang dapat mendapatkan takdir baiknya. Takdir, sekali lagi adalah hak prerogratif Allah swt. Sedangkan manusia memiliki kewajiban berusaha. Karena memang manusia sudah dibekali potensi untuk dapat mengembangkan kreatifitas dan mampu mengatasi segala persoalan yang menyelimuti kehidupannya. Atau dengan kata lain bahwa takdir tidak terkait secara langsung dengan usaha manusia.
Beberapa contoh takdir; makan menyebab kenyang, minum menyebabkan hilangnya haus, benda yang dilempar ke atas akan jatuh kembali, bekerja menyebabkan mendapat imbalan (upah), matahari berjalan dari arah timur ke barat, matahari dan bulan menjadi dasar penghitungan penanggalan dan perubahan hari, dan seterusnya. Diantara takdir-takdir demikian ini, terdapat takdir yang bersifat misteri, yaitu; kelahiran, kematian, kaya, dan jodoh.
Setiap orang yang bekerja selalu mendapatkan upah/imbalan (sunnatullah), tetapi tidak semua orang yang bekerja menjadi kaya. Setiap makhluk yang hidup pasti akan mati (sunnatullah), tetapi tidak seorangpun (makhluk) yang tahu kapan dia akan mati. Setiap orang paham bahwa laki-laki dan perempuan berpasangan (jodoh), tetapi tidak ada yang tahu siapa masing-masing jodohnya. Semua orang paham bahwa matahari dan bulan dapat dijadikan dasar berubahnya siang-malam, tetapi tidak seorangpun yang tahu kapan matahari dan bulan akan berhenti berjalan.
Tugas manusia adalah berusaha dan terus berusaha menemukan takdir terbaiknya. Ibarat orang buta, manusia perlu terus berjalan meskipun harus jatuh bangun. Dan, terus berjalan sampai menemukan jalan yang lempeng. Dalam setiap usaha, bekerja—Allah swt memberi pahala yang dicatat sebagai kebaikan. Karenanya, dalam berusaha harus tetap memperhatikan etika dan aturan-aturan yang ditakdirkan-Nya.
Seseorang yang telah menemukan takdirnya, maka dalam kehidupannya terasa mudah, ringan, dan longgar—lahir dan batin. Karenanya, dalam setiap usaha/bekerja, selain harus sesuai aturan keduniawian dan agama, seseorang perlu meminta petunjuk (berdoa) kepada Allah swt. Agar dimudahkan menemukan takdir terbaiknya. Bekerja, berdoa, dan juga harus diikuti kepasrahan total (tawakkal), agar tetap terjaga kedekatannya dengan Allah swt. Nur Kholis