teradesa.com. secara akademik, saya tertarik mengkaji tentang madzhab Syi’ah di Indonesia. Mulai membaca buku-buku tentangnya, dan bahkan untuk mendapatkan buku tersebut, tiga kali saya berkunjung ke ICC di Jakarta, dan sekali ke kantor kedutaan Iran. Baiklah, Syi’ah disini kita tempatkan sebagai obyek materia dan obyek formal dalam kajian akademik. Penempatan demikian, akan membuat kita lepas dari vested interest diluar kepentingan akademik. Tentu, ada banyak hal yang dapat kita kaji tentang madzhab syi’ah, mulai dari sejarah di Indonesia, ragam aliran, pokok-pokok ajaran, program dan kegiatannya, dll.
Saat itu, jumat Kubro, saya berkesempatan ikut sholat Jum’at di Masjid lantai 1 gedung ICC. Sebelum pelaksaan sholat jum’at saya sudah berada di masjid, i’tiqaf, dan mendengarkan langsung lantunan bacaan shalawat sebelum pelaksanaan sholat jum’at. Terus terang masih ada sedikit dalam hati yang kurang sreg berjamaah di masjid ini, mungkin karena sejak kecil pengetahuan dan doktrin ketauhidan sunni. Namun, bisikan dalam hati itu saya kuatkan bahwa madzhab Syi’ah juga agama Islam. Jam menunjukkan waktu sholat jumat sudah tiba. Terasa lega, ternyata pelaksanaan sholat jumat tidak berbeda dengan yang selama ini saya ikuti.
Secara umum kegiatan keagamaan (budaya) komunitas ahlul bait mirip dengan komunitas Sunni. Terutama pada aspek; budaya membaca sholawat, berziarah, dan bertawasul kepada para waliullah. Jika mengikuti youtube pembacaan sholawat, lirik dan lagu-lagunya, maka dapat ditemui kesamaan. Bedanya sholawatnya ditambah kata “wa Ali Muhammad”. Sementara, iringan musik dan terbang tidak jauh berbeda dengan kalangan Sunni. Kalangan ahlul bait juga menyukai ziarah ke makam para waliullah, terutama di Iran. Bahkan, rumah Ali bin Abi Thalib dan tempat di mana beliau dibunuh masih dipelihara dengan baik.
Orang-orang yang “dikultuskan” adalah ahlul bait. Ahlul bait adalah perantara pancaran cahaya ilahi. Mereka telah menyatu dengan Allah swt (fana). Mereka kekal karena Allah swt. Mereka adalah sebab puncak penciptaan. Mereka adalah pengejawantahan nama-nama Allah swt yang baik (al-asma al-husna). Mereka adalah pemberi syafaat di hari kiamat. Dan, mereka adalah perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Dalam, tauhid sunni, hal demikian dipahami sebagai tawasul. “wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihatlah dijalan-Nya, agar kamu beruntung” (QS. al-Ma’idah/5: 35).
Wasilah (jalan) mendekatkan diri kepada Allah swt terbagi menjadi dua. Pertama, berwasilah kepada wali (ahlul bait) yang sudah meninggal. Keyakinan kepada ahlul bait bahwa merekah yang dapat menjadi perantara kedekatan diri kepada Allah swt merupakan ketuhidan yang penting. Konsep ini, mirip dengan keyakinan orang-orang Sunni mendoakan atau bertawasul kepada para waliullah. Kedua, berwasilah kepada imam (ahlul bait). Yang berhak menjadi imam adalah ahlul bait. Dalam sejarah Syi’ah, para imam dimulai dari era Nabi Muhhammad saw, pasca wafatnya Nabi, era Imam Sajjad as., era Imam Muhammad Baqir dan Ja’far Shadiq (sampai 150 H), era 150 – 203 H (dan syahidnya Imam Ali Ridha as, era 203-260 H dan masa kegaiban kecil (ghoibah syugra), era 260-330 H (ghoibah kubra), dan sejak ghoibah kubro sampai sekarang.
Doa tawasul dilakukan untuk orang-orang yang sudah meninggal. Doa ini merupakan perwujudan dari ayat di atas. Sementara, wasilah kepada orang/imam yang masih hidup agar selalu berada dijalan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Wasilah adalah pancaran illahi dan perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, yaitu dengan menetapkan orang-orang yang suci, mulia, dan agung sebagai perantara mendekatkan diri kepada Allah swt. “mereka itulah orang-orang yang memohon (kepada Allah swt) yang mereka sendiri yang mencari perantara kepada Tuhan mereka, siapakah diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan yang mengharapkan rahmat-Nya serta mereka takut kepada-Nya. Sesungguhnya siksaan Tuhanmu itu ditakuti” (QS. al-Isra’/17: 57). #Nur Kholis.