Techno-spiritualisme; Selamat datang di dunia baru.

0
279

teradesa.com. Saya mencoba browshing di internet dengan kata kunci, “techno + spirituality”. Data yang penulis peroleh menunjukkan bahwa pembicaraan tema tersebut di Amerika Serikat sebanyak 16%; 22% di Canada; 20% di Australia; 58% di India. Di Afrika bagian Selatan, misalnya Nigeria 86%, Ghana 80%, Uganda dan Congo 78% dan 77%. Dan, terbesar di Pakistan yaitu 100%. Sedangkan di Indonesia hanya 21%.

Sejak 3 Maret 2021 sampai 5 Maret 2022 rata-rata berkisar 75% di seluruh dunia. Pernah mengalami puncaknya, yaitu 100% tercatat pada tanggal 19-25 September 2021. Dan, terus melandai turun sampai 5 Maret 2022, yaitu 73%. Hal ini menarik bahwa spiritualitas tidak saja merupakan integrasi dari berbagai ilmu pengetahuan, sebagaimana konsep sebelumnya. Tetapi sekarang diintegrasikan dengan teknologi.

Spirituality merupakan hubungan (rasa) seseorang dengan dzat yang suci (transcendent) yang mampu mentransformasikan diri menjadi lebih baik. [1]. Dan, lebih bermanfaat bagi lainnya, baik di lingkungan keluarga, pekerjaan, dan kelompok organisasi. Dalam konsep Islam, ini adalah pribadi yang terbaik (khoiru ummah). Kemampuan mentransformasi diri menjadi baik, karena didalam diri diliputi rasa suka cita, bahagia dan kasih sayang. Itulah, pancaran spiritualitas dzat maha kasih.

Berdasarkan hasil penelitian Gatling et all [2] bahwa dimensi spiritualitas dalam tempat kerja meliputi; meaningful work (level individu), sense of community (level kelompok), dan alignment work organizational values (level organisasi). Dengan demikian, setiap orang hendaknya mengusahakan terpenuhinya diri dengan spiritualitas yang tinggi, baik diusahakan sendiri maupun berkelompok. Usaha untuk meningkatkan spiritualitas diri merupakan kemauan (himmah) yang baik, dan patut dilakukan setiap orang.

Perkembangan tipologi spirituality individu atau kelompok secara historis dapat dianalisis sebagai berikut. Pertama. Spiritualitas dengan lingkungan alam sekitar. Pada jaman primitif spiritulitas seseorang/kelompok berkembang dengan mengintegrasikan kesadaran diri, kesadaran lingkungan alam semesta. Perpaduan antara kesadaran nilai-nilai individu, dan nilai alam sekitar menjadikan seseorang memiliki spiritualitas yang kuat. Pada masyarakat Jawa, misalnya dikenal dengan konsep spiritualitas kejawen.[3]

Kedua, spiritualitas hasil integrasi beragam ilmu pengetahuan. Peningkatan kualitas spiritualitas keagamaan dapat dilakukan dengan cara memahaminya dari beragam ilmu pengetahuan. Spiritualitas pada periode ini bukan hanya monopoli ilmu agama. Kajian tentang Tuhan, selain dapat didekati dengan ilmu al-Qur’an, almu al-Hadis, ilmu kalam, biologi, astronomi, zoology, dan/atau neurology. Mengkaji tentang al-Qolb (hati), selain menggunakan pendekatan agama, juga dapat diikaji dari neurology. Bahkan temuan mutakhir neurology dapat menjelaskan posisi/letak hati manusia.

Ketiga, spiritualitas dan teknologi komunikasi. Beberapa artikel membahas aplikasi-aplikasi yang menyediakan/dapat digunakan untuk perkumpulan agamawan.[4] [5] Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin akamodatif terhadap kebutuhan-kebutuhan praktis, komunitas, dan ilmu pengetahuan. Semua aplikasi mampu menghasilkan pemahaman keagamaan yang semakin efektif dan efisien. Bahkan, beberapa aplikasi mampu mengintegrasikan aspek audio-visual sekaligus. Kecanggihan alat komunikasi ini pada akhirnya juga berguna bagi perkembangan spiritualitas individu dan kelompok di masyarakat.

Keempat, meta-sprituality. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang mutakhir tidak hanya sebatas mampu menyuguhkan audio-visual, tetapi lebih dari itu mampu menyatukan individu/komunitas dari belahan dunia dalam waktu dan ruang (maya) yang sama.[6] Pada beberapa kasus, metaverse sudah diaplikasi untuk kegiatan keagamaan.[7] Perkembangan ini di satu sisi menggembirakan, terutama untuk meningkatkan pemahaman keagamaan. Tetapi dipihak lain, mungkin dapat mereduksi orisinalitas dan kultus ritual keagamaan.

Meta-spirituality adalah penggunaan tekknologi metaverse untuk meningkatkan pemahaman, kesadaran, dan kualitas spiritualitas keagamaan. Teknologi metaverse sebetulnya juga dapat dimanfaatkan sebagai alat/media belajar agama. Teknologi ini memungkinkan seseorang dapat mengalami secara langsung dalam dunia nonfisik. Pikiran dan emosi dapat terlibat secara langsung dalam kegiatan komunitas keagamaan ataupun ritual keagamaan. Misalnya teknologi metaverse dapat digunakan untuk ritual ibadah haji, berwudlu, belajar sholat secara berjamaah, dan/atau kajian bersama dalam ruang (maya) yang sama.

Reference

[1]       E. Buie, “Let us say what we mean: Towards operational definitions for techno-spirituality research,” 2019, doi: 10.1145/3290607.3310426.

[2]       A. Gatling, J. (Sunny) Kim, and J. Milliman, “The relationship between workplace spirituality and hospitality supervisors’ work attitudes,” Int. J. Contemp. Hosp. Manag., vol. 28, no. 3, 2016, doi: 10.1108/ijchm-08-2014-0404.

[3]       Masroer Ch., “Spiritualitas Islam dalam Budaya Wayang Kulit Masyarakat Jawa dan Sunda,” J. Ilm. Sosiol. Agama, vol. 9, no. 1, 2015.

[4]       E. Buie and M. Blythe, “Spirituality: There’s an App for That! (But Not a Lot of Research),” in Conference on Human Factors in Computing Systems – Proceedings, 2013, vol. 2013-April, doi: 10.1145/2468356.2468754.

[5]       M. Blythe and E. Buie, “Chatbots of the gods: Imaginary abstracts for techno-spirituality research,” 2014, doi: 10.1145/2639189.2641212.

[6]       H. Duan, J. Li, S. Fan, Z. Lin, X. Wu, and W. Cai, “Metaverse for Social Good: A University Campus Prototype,” 2021, doi: 10.1145/3474085.3479238.

[7]       R. K. Bolger, “Finding wholes in the metaverse: Posthuman mystics as agents of evolutionary contextualization,” Religions, vol. 12, no. 9, 2021, doi: 10.3390/rel12090768.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here