teradesa.com. Kali ini kita akan mendiskusikan tentang apakah atribut atau predikat yang dikenakan kepada manusia dan kepada Allah memiliki makna sama? Jika ia, apakah mungkin bahasa manusia mampu mendeskripsikan predikat dan keagungan Allah? Sementara, bahasa manusia selalu bereferensi kepada hal-hal material, sedangkan Allah sama sekali tidak berkaitan sama sekali dengan material. Jika tidak, bagaimana manusia harus menjelaskan tentang teologi, baik yang bertujuan untuk meningkatkan keyakinan/keimanan, maupun untuk kajian ilmiah?
Bahasa kita tentang Allah yang tidak tak terbatas (in ordine essendi) tidak mungkin univok (sama) dengan bahasa kita tentang manusia yang terbatas (in ordine essendi). Misalnya ketika kita menyebut Allah bijaksana, adil, penyayang, mengasihi, dan lain sebagainya. Apakah berarti sama maknanya dengan ketika kita menyebut si Fulan pemimpin yang bijaksana, adil, penyayang, mengasihi dan sebagainya?
Tentu jawabannya, tidak sama. Bijaksananya si Fulan dapat bermakna, setidaknya tiga hal; Pertama, bijaksananya hanya pada satu aspek tertentu. Kedua, terbatas oleh waktu, misalnya pertama jadi Bupati ia bijaksana, tetapi setelah periode kedua tidak bijaksana lagi. Ketiga, si Fulan bijakasana disebabkan pengalaman atau pembelajaran (pengetahuan). Artinya, bagaimanapun bijaksananya si Fulan, bersifat terbatas. Dan, keterbatasan dalam hal bijakasana tersebut, tentu tidak dapat dikenakan kepada Allah. Karena pada hakikatnya, bijaksananya manusia tidak sama dengan bijaksananya Allah. Kebijaksanaan Allah bersifat mutlak dan mendahului kebijaksanaan manusia.
Pemakaian bahasa secara univok mengenai Allah akan menghilangkan nilai absolut dari ada yang dimiliki Allah. Padahal Allah adalah ens a se. Ia adalah ada dari/dengan sendirinya. Sedangkan barang ciptaan (makhluk), memang mereka ada namun tidak berada dari/dengan sendirinya. Mereka menjadi ada selalu oleh yang lain (ens ab alio), yang dalam hal ini adalah oleh Allah. Setiap adanya makhluk disebabkan oleh makhluk-makhluk lainnya. Dan, makhluk-makhluknya lainnya itu disebabkan oleh Allah. Adanya suara disebabkan adanya mulut manusia atau hewan. Setiap lahirnya (ada) anak (manusia) disebabkan adannya orang tua (manusia) lainnya. Setiap adanya tumbuh-tumbuhan disebabkan adanya bumi, dan lain sebagainya. Dan, kesemua yang ada itu disebabkan oleh adanya primer (Allah).
Selain itu, kita juga tidak serta merta bisa membedakan (ekuivok) antara predikat yang kita kenakan kepada Allah dengan predikat yang kita kenakan kepada manusia. Misalnya ketika kita menyebut Allah bijaksana, adil, mengasihi dan penyayang. Tidak serta merta kita dapat membedakan makna bijaksana, adil, penyayang dan mengasihi itu bagi Allah dengan bagi manusia. Bagiamanapun, Allah adalah penyebab adanya manusia, maka atribut yang dikenai kepada Allah sama dengan pada manusia. Tentu, kebijakasanaan, keadilan, keasih sayang, dan kebaikan Allah mendahului, atau lebih berkualitas dari kebijakasanaan dan kebaikan manusia (makhluk).
Sebenarnya kalau kita mengatakan “Allah baik”, maka kita tentu bermaksud lebih dari pada mengatakan “Allah tidak jahat” (via negationis), atau “Allah baik”, itu berarti, menegaskan bahwa yang dinamakan kebaikan pada makhluk itu sebenarnya terdapat pada Allah secara lebih dahulu atau secara lebih tinggi (kualitasnya) dan secara seharusnya (per naturam). Sedangkan kesempurnaan yang sama ada pada manusia secara tidak seharusnya (per-accidens).
Lalu, bagaimana menjelaskan sikap skepsis teologis demikian? Menggunakan model atau teori analog. Pengertian bersifat analog apabila sebagian artinya sama dan sebagian lainnya bermakna berbeda. Atau dengan kata lain, suatu kata yang sama dipakai untuk banyak barang dalam arti yang sama sekaligus berbeda. Dengan demikian, pengertian atau kata dipakai untuk banyak barang tidak dalam arti yang sama sekali sama, namun juga tidak sama sekali berbeda. Tetapi sekaligus sama dan beda. Jangan bingung ya wkwkwk
Dalam praktiknya, analogi dibagi menjadi dua kategori; Pertama, analogi pada tataran supra-human (analogi arah ke atas), yaitu pemakaian kata menyangkut manusia dan yang melampuai manusia-manusia. Kedua, analogi infra-human (analog ke arah bawah), yaitu pemakaian kata menyangkut manusia dan makhluk lainnya yang secara ontologis dibawahnya. Misalnya menyebut anjing setia. Makna ciri-ciri kesetiaan pada manusia juga terdapat pada anjing setia, tetapi sifat kesetiaan manusia tentu berbeda dengan sifat kesetiaan anjing. Begitu pula, jika analog ke arah atas (supra-human). Misalnya Allah adil. Ciri-ciri keadilan Allah juga terdapat pada penyebutan si Fulan adil, tetapi kualitas atau sifat adilnya Allah berbeda dengan si Fulan yang adil. Adilnya Allah mendahului dan lebih tinggi dengan adilnya manusia (si Fulan)
Akhirnya, saya hanya menyitir pandangan St. Thomas Aquinas dengan teori analoginya. Ia mengatakan bahwa Allah itu untuk sebagian adalah tidak beda dari ada-ada yang ditunjuk oleh konsep-konsep insani yang bersifat sensibilis itu dan untuk sebagian bukan seperti ada-ada itu. Itulah cara membahasakan Allah secara analog, dan cara itulah yang memadai tentang Allah. Sedangkan membahasakan Allah secara univok dan ekuivok ditolak, karena bahasa univok membawa kita kepada bahaya antropomorfisme dan bahasa ekuivok membawa kita kepada bahaya agnostisisme. #Nur Kholis.