teradesa.com. Dibagian terdahulu, saya sering mengulas tentang tanazzul-nya Tuhan kedalam setiap ciptaan-Nya (makhluk), karenanya semua makhluk memiliki manfaat. Itu, lagi-lagi, karena memang mereka merupakan manifest dari dzat yang Maha Rahmah.
Dunia dan seluruh isinya sejatinya bukan hal yang riil. Ia hanyalah “dunia manifest” dari dzat Tuhan, yang riil. Segala sesuatu yang manifest pada waktunya akan mengalami kemusnahan, hilang. Sedangkan, yang riil tetap eksis (ada) tanpa batas ruang dan waktu.
Bayangan kita di siang hari tampak sangat jelas, bahkan ke mana-pun kita pergi bayangan itu selalu mengikuti. Tetapi, ketika waktu mulai merangkak malam, maka bayangan itu semakin tidak kelihatan dan menghilang. Bayangan itu adalah manifest dari yang riil, diri kita.
Perjalanan hidup manusia dan semua makhluk di dunia ini, hakikatnya adalah untuk mengetahui, mengejar, dan menyatu dengan dzat yang riil. Berbeda, antara diri kita dan bayangan, meski selalu beriringan ke mana-pun yang riil (kita) berada, ia (bayagan) mengikuti. Keduanya tidak akan pernah menyatu. Sebaliknya, kita (bayangan) apabila mengejar yang riil (Tuhan), maka justru Tuhan-lah yang mendekat dan mendekap bayangan-Nya.
Dalam agama-agama monoteisme (Islam, Kristen) dan nonteisme (Hindu-Budha, Kepercayaan), usaha mengejar dan mendekatkan diri dengan Tuhan dilakukan melalui dua aspek, yaitu; doktrin dan metode. Doktrin bersandar pada prinsip esensial keimanan. Sedangkan, metode berkaitan dengan pemusatan pikiran terhadap yang dzat yang riil melalui meditasi, ibadah, dan/atau penyebutan nama-nama-Nya (dzikir).
Perjalanan Nabi Muhammad saw, dari Makkah ke Palestina dan menuju puncak keindahan, Sidratulmuntaha. Merupakan perjalanan spirutalis-asketisme yang tidak mudah diterima akal, apalagi tanpa keimanan. Hanya Nabi saw yang bisa bertemu dan berdialog secara langsung, tanpa hijab dengan Allah swt.
Nabi-Nabi sebelumnya tidak demikian. Nabi Ibrahim a.s menerima pesan spiritualis melalui proses mimpi, seperti pada saat menerima pesan tentang penyembelihan Ismail a.s (Qurban). Juga, Nabi Musa a.s tidak sanggup bertemu langsung dengan Tuhan. Jangankan bertemu, gunung-gunung saja langsung hancur ketika berdekatan dan bertemu dengan Tuhan. Sebagaimana diabadikan dalam al-Qur’an.
“Dan ketika Musa datang untuk (munajat) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, (Musa) berkata, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” (Allah) berfirman, “Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya engkau dapat melihat-Ku.” Maka ketika Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) kepada gunung itu, gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar, dia berkata, “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.”” (QS. al-A’raf: 143).
Terdapat rahasia, dibalik mengapa Tuhan tidak menampakkan langsung pada hamba-Nya. Tuhan menampakkan diri pada setiap hambanya dalam bentuk tanazzul, dan memanifes kedalam semua ciptaan-nya melalui luapan kasih sayang (rahmah), sehingga semua fenomena manifes memiliki daya positif, dan manfaat bagi makhluk-makhluk lainnya.
Begitu-lah perumpamaan yang dapat kita renungkan. Mengapa jarak antara pusat cahaya (matahari) dengan bumi dan semua yang terdapat di atas dan didalamnya. Jikalau matahari dekat bumi, maka bumi dan semua yang ada akan hancur dan musnah. Jarak yang ideal matahari dengan bumi, bahkan sinarnya masih terselubungi oleh ozon menjadikan semua yang ada di planet bumi tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik.
Tuhan menciptakan hijab-hijab diri dan hijab-hijab semua makhluk-Nya untuk tujuan baik. Sinar matahari yang jauh dan terselubungi menjadikan kita dapat berjalan di atas bumi, dapat membedakan antar keragaman pemandangan, dapat menikmati keindahan alam semesta, menjadikan buah-buahan matang, menjadikan semua tanaman tumbuh dengan sempurna. Karena efek matahari juga, terproduksilah tambang-tambang; emas, perak, batu mulia, (akik & rubi), air, minyak, dll yang bermanfaat bagi manusia.
Akhirnya, perjalanan hidup kita sejatinya adalah kesadaran transenden untuk menikmati keragaman keindahan dalam ruang hijab yang memesonakan. Jangan sesekali membuka hijab jika belum siap mental. Takutnya pingsan, hmmm. Cak Nur