teradesa.com. Alam (pemikiran) manusia terbagi menjadi tiga, yaitu; rasional-logis, imajinal, dan sipiritual-ruhani. Ketiga pemikiran ini jika didedikasikan, diupayakan dengan sungguh-sungguh maka akan menghasilkan pengetahuan dan/atau ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, pengembaraan ketiga alam (pemikiran) tersebut secara bebas dapat mengembangkan kemampuan bahasa (pengungkapan), baik lisan maupun simbol yang berguna dalam berinteraksi dalam ranah sosial.
Pemikiran rasional-logis (dalam peradaban modern) ditetapkan sebagai cara utama yang harus ditempuh untuk menghasilkan ilmu pengetahuan. Diintegrasikan dengan kemampuan indrawiyah manusia maka ilmu pengetahuan dapat dikembangkan dengan baik. Ilmu pengetahuan haruslah memiliki kriteria; dapat diukur, diobservasi, dan dibuktikan. Semua hal yang tidak memenuhi ketiga syarat tersebut tidak bisa disebut sebagai ilmu pengetahuan, ia hanya sebatas pengetahuan.
Pemikiran rasional-logis bersifat wadak, artinya ia memiliki sifat berganda dan keterbagian aritmatic (1, 2, 3 dst). Selain itu, dalam operasionalnya, ia membutuhkan wadak dari dunia ini. Inilah, yang kemudian menyempurnakan sifat ke-wadak-annya. Oleh karena itu, harus dipahami bahwa semua yang dihasilkannya adalah kebenaran parsial, nisbi (sementara), dan dinamis—bukan final. Ilmu pengetahuan satu dengan lainnya salin mengantitesa sampai menemukan titik equilibrium dan/atau kejumudan ilmu pengetahuan.
Pemahaman, tafsir, dan hasil temuan penelitian atau semua hasil penginderaan dan akal manusia bersifat kebergandaan. Relatifitas dan kebergandaan dunia dan manusia dapat dimaknai sebagai aspek kelemahan dan kelebihan sekaligus. Sifat antagonis kemanusiaan dan keduniaan ini berfungsi agar kehidupan manusia dapat berkembang secara dinamis. Ini, juga menunjukkan bahwa semua keduniaan dan kemanusiaan merupakan ladang untuk berproses yang tidak berkesudahan.
Tafsir manusia terhadap semua teks, juga teks kitab suci (al-Qur’an) sekalipun yang berifat mutlak kebenarannya—ketika diturunkan kedalam pemahaman manusia, maka ia juga berifat relatif. Keberagamaan (perilaku spiritual) adalah merupakan pengejawantahan dari pemahaman atau tafsir terhadap teks (kitab suci, dalam Islam: al-Qur’an al-Hadis), yang—tentu akan berbeda antara satu dengan lainnya, antara komunitas beragama satu dengan lainnya. Dengan demikian, tidak patut untuk saling mengklaim kebenaran.
Beragama dan keberagamaan adalah sikap ketawadlu’an individu dengan Tuhan dalam alam keprivasian. Mempublikasi ritual keagamaan kedalam alam keumuman atau bahkan memaksakan relatifitas kebenaran keberagamaan kepada kelompok lain, selain menyalahi sunnatullah kewadakan dunia, juga menyalahi etika dalam beragama. Meskipun, masih dapat diperdebatkan kebenaran etika bergama dimaksud. Toh demikian, beragama adalah memasuki alam kesakralan yang inten antara individu dengan Tuhan, maka tidak layak untuk diprofankan.
Temuan ilmu pengetahuan berdampak pada berkembangnya suatu peradaban. Perdaban komunitas bangsa satu dengan bangsa lainnya saling mempengaruhi. Inilah, yang kemudian kita mengenal model imitasi, asimilasi, dan benturan budaya atau perdaban. Budaya atau peradaban yang kuat akan banyak diimitasi dan diadopsi oleh masyarakat-bangsa lainnya, baik pada tataran bahasa (ungkapan), sikap, dan perilaku. Atau, dengan kata lain tidak ada perdaban satu-pun yang dapat berdiri sendiri—semua saling terkait dan menguatkan.
Melakukan kajian, pembecaan, penafsiran, dan penelitian terhadap teks kitab suci dan alam jagat raya keduniaan merupakan keharusan bagi setiap individu beragama. Teks kitab suci dan alam jagat raya dihamparkan Tuhan bukan untuk disembah, tetapi dimanfaatkan sebagai laboratorium kesemestaan macro sehingga menghasilkan teori-teori ilmu pengetahuan. Teori-teori yang dihasilkan dari penelitian berfungsi untuk menjelaskan, memprediksi fenomena kesemestaan dan temuan teknologi baru. Ilmu pengetahuan dan teknologi inilah yang dapat dijadikan sebagai instrumen pengeloaan alam jagat raya.
Setiap kelompok bangsa yang menempatkan ilmu pengetahuan sebagai lokus pembangunan, maka mereka akan mampu memimpin dan menguasai peradaban. Misalnya, Yunani pernah memimpin perdaban kefilsafatan, dan sampai sekarang ilmu filsafatnya masih menjadi dasar pengembangan ilmu pengetahuan tradisional dan modern. Islam melanjutkan perdaban Yunani dengan mengintegrasikan kebanaran teks kitab suci sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi—lebih sempurna dari peradaban Yunani. Sedangkan, peradaban Barat justru memisahkan antara ilmu pengatahuan dengan agama.
Perbedaan corak peradaban Yunani, Islam, dan Barat modern merupakan kewajaran yang logis. Bahwa setiap pemikiran itu selalu bersifat saling mengatitesa sampai ditemukan peradaban yang relatif lebih baik dari peradaban satu ke peradaban berikutnya. Ilmu pengetahuan selalu mengalami penyempurnaan dari waktu ke waktu berikutnya. Teknologi mengalami penyempurnaan dari periode satu ke periode berikutnya. Tidak seorangpun atau kelompok negara-bangsa yang berani mengklaim paling menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau peradaban. Semua bersifat akumulatif saling menyempurnakan.
Akhirnya, perlu dipahami bahwa kewadakan alam pemikiran, penginderaan, dan rasional-logis manusia karena ia memiliki sifat wadak, juga selalu membutuhkan wadah (tempat) dunia yang juga bersifat wadak (kebergandaan). Alam pemikiran tidak bisa berkembang tanpa adanya jasad manusia, jasad manusia juga hanya bisa tumbuh dan berkembang jika ia berada di dunia. Ya, begitulah dunia dengan seluruh isinya bersifat demensial ganda. Dan, itulah mengapa dunia tanpa begitu indah dan menyenangkan karena ia penuh warna dan ununiform. Nur Kholis (LSP Community)