Jamak dipahami bahwa pengetahuan merupakan terjemahan dari science (bhs inggris), bahkan kadang kita lantang menggandengkan dengan kata teknologi, menjadi ilmu pengetahuan dan teknologi (saintek). Penyebutan demikian, bukannya salah tetapi justru mereduksi hakikat ilmu pengetahuan yang luas. Karena, ilmu pengetahuan dalam konsep tersebut bermakna ilmu pengetahuan tertentu, yaitu natural science (Mc. Graw-Hill, 1974). Dengan demikian, ilmu pengetahuan lainnya bukan merupakan sains, misalnya; sosiologi, linguistik, ekonomi, antropologi, komunikasi, filsafat, hukum, sejarah, arkeologi, sastra, dan kajian agama.
Benih-benih dominasi natural science sebagai ilmu pengetahuan bermula sejak awal era renaisans dan revolusi industri di Eropa. Pada era kemajuan ilmu di Yunani dan peradaban Islam misalnya, pengetahuan terintegrasi secara apik. Misalnya kajian agama, manusia dan/atau masyarakat tidak hanya diposisikan sebagai obyek materia, tetapi juga sebagai obyek forma. Puncaknya dominasi natural science pada abad 20, yang ditandai dengan lahirnya Vienna Circle (lingkungan Wina), tepatnya pada tahun 1924. Komunitas ini mengusung paradigma ilmu pengetahuan neopositivisme atau positivisme logis.
Komunitas Wina ini merupakan gabungan dari para ilmuwan alam dan ilmu pasti. Mereka mengusung paradigma pengetahuan ilmiah (scientific) dengan memadukan berbagai ilmu pasti dan alam, yang disebutnya sebagai unified science. Pandangan keilmuan positivisme logis ini dipengaruhi secara kuat oleh tradisi empirisme, rasionalisme, positivisme dan kritisisme Immanuel Kant. Suatu pengetahuan disebut ilmiah, jika ia dapat dibuktikan, diobservasi, dan bersifat konstan. Sebaliknya, apabila ia berubah-ubah dan tidak dapat dibuktikan dan diobservasi maka ia bukanlah ilmu pengetahuan ilmiah (scientific), mungkin hanya sebatas sebagai pengetahuan saja.
Kelompok Wina berpandangan bahwa; 1) sumber pengalaman hanya satu, yaitu pengalaman yang berasal dari inderawi. 2) adanya dalil logika dan matematika dalam rangka mengolah data inderawi. 3) adanya perbedaan yang tegas antara garis batas ungkapan yang bermakna (meaningfull) dengan pernyataan yang tidak bermakna (meaningless). 4) adanya penegasan bahwa segala kebenaran dan kebermaknaan harus melalui prinsip verifikasi. 5) menolak segala ungkapan metafisika (termasuk bidang nilai, etika, agama, dan ketuhanan). Prinsip-prinsip inilah yang kemudian diperkenalkannya sebagai metode kuantitatif (dalam bidang penelitian).
Prinsip-prinsip pengembangan ilmu pengetahuan ini telah mendarah-daging pada kalangan ilmuwan. Bahkan ilmuwan sosial dan humaniora juga ikut-ikutan mengimplementasikan prinsip tersbut kedalam penelitian dan perdebatan ilmu. Ilmu alam dan ilmu pasti telah mendominasi dan menempatkan diri sebagai ilmu mainstream dikalangan akademisi. Scientific yang dangkal ini telah menancap secara kuat pada pemikir-pemikir bidang filsafat, dan ilmu sosial-humaniora sehingga berkontribusi dalam mengaburkan makna hakiki ilmu pengetahuan ilmiah. Kadang ada seloroh pada kalangan ilmuwan sains dan teknologi (saintek) bahwa pengetahuan agama, sosial, budaya, seni, hukum dan sebagainya bukan merupakan pengetahuan ilmiah.
Berkembangnya paradigma ilmu pengetahuan ilmiah reductive ini berdampak pada pandangan bahwa dunia dengan segala unsurnya harus dikuasai dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk manusia. Ilmu pengetahuan merupakan alat (intrument) untuk menguasai dunia. Dampak yang paling buruk adalah dunia dengan segala isinya wajib dieksplorasi untuk kemakmuran manusia. Pada puncak ini, maka ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan bersifat intrumental, sehingga ia bebas nilai (values free). Alam semesta tidak perlu dipelihara, maka perusakan ekosistem adalah hal yang wajar. Oleh karena itu, di awal abad 20 manusia merupakan predator alam ajag raya yang tak tertandingi, bahkan lebih jahiliyah dari masa jahiliyah pra-Islam. #Nur Kholis