Teradesa.com. Setidaknya ada tiga reaksi terhadap model pengembangan ilmu pengatahuan positivisme logis. Pertama, Thomas Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions (1962), menyatakan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan bersifat revolusioner. Secara historis munculnya pandangan-pandangan atau teori baru yang kemudian menjadi cara pandang (paradigma) baru. Cara pandang baru ini muncul karena adanya siklus sejarah. Misalnya pada awalnya pembelajaran berpusat pada guru. Pandangan demikian dipengaruhi oleh filsafat klasik; Plato, Aristoteles, dll. Tetapi kemudian, pandangan demikian terbalik dari filsafat modern, John Dewe bahwa pembelajaran berpusat pada murid. Perbedaan pandangan demikian kemudian melahirkan teori baru dalam pembelajaran.
Kedua, Karl Popper yang mengembangkan paham rasionalisme kritis dan prinsip falsifikasi dalam karyanya yang bertitel The Logic of Scientific Discovery (1959). Popper menentang prinsip verifikasi dan prinsip induksi model positivisme logis. Faktanya, dalam pengetahuan empiris bahwa prinsip induksi belum tentu mencapai hukum-hukum umum. Selain itu, secara historis ilmu pengetahuan kadang berasal dari konsep-konsep metafisika, misalnya hukum atomisme Demokritos atau hukum-hukum Archimides. Epistimologi kebenaran pengetahuan tidak selalu melalui proses induksi, tetapi mungkin, kadang berasal dari pembenaran logis dengan prinsip falsifikasi. Prinsip falsifikasi adalah proses pembuktian adanya kesalahan dalam hukum-hukum ilmiah.
Ketiga, penolakan oleh ilmuwan mazhab Frankfurt (Die Frankfurter Schule). Kelompok ini dikenal dengan produk-produk teori dan metode penelitian kritis. Menurut mereka bahwa tatanan masyarakat tidak dapat diverifikasi atau difalsifikasi. Tatanan masyarakat memiliki berbagai kemungkinan yang akan mengubah tatanan masyarakat yang telah ada (dinamis). Suatu teori dalam ilmu sosial tidak dapat dilepaskan dari sisi praktis-pragmatisnya. Oleh karena itu, tidak satupun ilmu pengetahuan itu bebas nilai (value free). Bahkan, teoritikus, Habermas mengingatkan bahwa setiap teori harus diarahkan pada nilai yang bersumber pada kepentingan masyarakat.
Berdasarkan tingkatan epistimologisnya, sifat ilmu pengetahuan ada dua, yaitu; nomotethic dan ideographic. Epistimologi nomotethic adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk menemukan hukum-hukum, rumus-rumus, dalil-dalil, dan aksioma-aksioma. Hakikat realitas (ontologi) menurut pengetahuan nomotethic dipahami sebagai semua hal yang tunggal atau parsial. Nah, pengetahuan demikian sangat mungkin dikembangkan dengan mengikuti model positivisme logis. Pengembangan ilmu pengetahuan ini menerapkan prinsip-prinsip; generalisasi dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan, misalnya ilmu fisika, kimia, geografi, kedokteran, pertanian, biologi serta ilmu-ilmu kealaman lainnya.
Sebaliknya, epistimologi ilmu pengetahuan ideographic adalah ilmu yang dalam proses pengembangan ilmu pengatahuannya berupaya untuk mendeskripsikan, melukiskan, menjelaskan objek ilmu. Secara ontologis bidang ilmu ini mendasarkan pada pandangan bahwa hakikat realitas itu bersifat ganda. Bidang-bidang ilmu ini tidak berupaya untuk menemukan prinsip-prinsip, hukum-hukum, atau generalisasi. Kelompok ilmu pengetahuan ini misalnya; ilmu sejarah, antropologi, sastra, linguistik, arkeologi, budaya, filsafat, ilmu kemanusiaan lainnya dan bahkan juga ilmu-ilmu ke-Islaman.
Metode penelitian yang mungkin dapat diimplementasikan untuk pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan ideographic adalah metode penelitian berjenis kualitatif. Metode ini dapat memotret, menjelaskan, mendeskripsikan, dan memaknai kondisi obyek secara lebih mendalam detail, meluas, dan komprehensip. Meskipun hasil penelitiannya tidak dimaksudkan untuk mengeneralisasi obyek, tetapi hasil penelitiannya (berupa teori) dapat berfungsi untuk menjelaskan, menemukan, dan memprediksi obyek/fenomena. Secara sederhana teori adalah suatu sistem gagasan dan abstraksi yang memadatkan dan mengorganisir berbagai pengetahuan manusia tentang dunia sosial sehingga mempermudah pemahaman manusia tentang dunia sosial.
Temuan teori dari suatu penelitian kualitatif pada akhirnya juga bersifat relatif. Suatu teori yang dianggap sebagai baik, pada suatu ketika, karena perubahan dinamika obyek dan tempat, maka teori tersebut dapat dibantah oleh teori lainnya. Memang, suatu teori dapat membantu peneliti/pengkaji untuk menjelaskan, mendeskripsikan dan memprediksi tetapi keberlakuannya tidak bisa mutlak dan umum. Disinilah letaknya dinamika dan revolusionernya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dan/atau teori tidak selalalu berkembang secara linier, sebagaimana dipahamai kalangan positivisme logis, tetapi juga ziz zag, revolutive, dan antithesis. #Nur Kholis.