teradesa.com. Sudah cukup lama kita terbuai oleh magic ilmu pengetahuan barat (saintific) bahwa semua kebenaran pengetahuan bersifat indrawiyah (observable and measurable). Memang hal demikian sangat tergantung dari sudut pandang masing-masing orang (worldview). Pandangan demikian rasional jika mengikuti pandangan materialisme. Tetapi, apakah hakikat kemanusiaan itu materilisme? Tidak. Kemanusiaan itu kompleks, begitulah dasar yang seharusnya kebenaran pengetahuan dikembangkan.
Hakikat pengetahuan dan kebenaran pengetahuan memiliki beberapa tingkatan/tahapan, yaitu; indrawiyah, rasional, dan ma’rifat. Pertama, pengetahuan indrawiyah. Pengatahuan ini merupakan dasar (basic) terbentuknya pengetahuan pada tingkatan berikutnya. Menurut kaum empirisme, indra merupakan satu tahap pengetahuan yang disebut dengan pengetahuan lahiriyah, pengetahuan permukaan, atau pengetahuan yang tidak mendalam. Pengetahuan sederhana, seperti melihat angkasa, mendengar suara, mencium bau, dan sebagainya.
Pengetahuan indra memiliki kesamaan dan perbedaan dengan pengetahuan binatang, bahkan pada beberapa binatang tertentu pengetahuan indra-nya lebih kuat dibandingkan dengan indra manusia. Misalnya kelelawar memiliki daya radar penglihatan yang sangat kuat dibandingkan manusia. Sementara, manusia mampu mengenali warna warni tetapi binatang tidak bisa. Beberapa dari bebauan yang menurut binatang dianggap sedap dan enak, sementara bagi manusia menjijikkan, misalnya bau bangkai.
Pengetahuan indrawi lebih bersifat partikular (juz’i), satu persatu, bagian perbagian. Misalnya, anak kecil mengenal orang-orang di sekitarnya; ayah, ibu, kakak, adik, kakek, nenek, bibi, paman dan rumah. Tetapi ia tidak memiliki suatu pemahaman universal tentang konsep; keluarga, rumah, dan/atau kategori warna, pelangi, masyarakat, komunitas, teman sebaya, sekolah, dan organisasi. Atau, tidak tidak bersifat mendalam dan kausalitas yang membentuk konsep-konsep benda atau suatu fenomena.
Pengetahuan indrawi bersifat kekinian. Artinya berhubungan dengan waktu “saat ini”, bukan dengan waktu “lampau” atau waktu yang “akan datang”. Karena dengan indranya manusia hanya mampu merasakan segala sesuatu yang ada pada saat ini. Manusia dengan mata tidak mampu melihat berbagai kejadian yang terjadi sebelum kelahirannya. Dan, dengan indra lahiriyahnya ia tidak akan mampu mengetahui dan merasakan berbagai kejadian yang akan datang.
Pengetahuan indra hanya berhubungan dengan suatu kawasan (lingkungan) tertentu. Artinya pengetahuan ini terbatas pada suatu kawasan tertentu. Manusia dan binatang yang hidup dalam suatu kawasan, maka ia hanya akan merasakan apa-apa yang ada di kawasan/daerah tertentu. Misalnya, saya di Tulungagung hanya akan mampu memahami tempat-tempat wisata indah di Tulungagung saja.
Kedua, pengetahuan rasional. Pengetahuan rasional hakikatnya tidak berdiri sendiri. Semua benda dan fenomena yang diindra oleh seseorang langsung terekam kedalam akalnya. Benda-benda dan fenomena yang tidak dapat diproses/dianalisis kedalam ranah kesadaran pengetahuannya, akan langsung tersimpan di ruang bawah sadarnya. Proses memikirkan benda-benda dan fenomena, dimulai dari pemilahan, mengkritisi, mereduksi, dan menyimpulkan adalah meruapakan pengetahuan rasional.
Pengetahuan kita tentang ketokohan Pangeran Diponegoro, misalnya, bukan pengetahuan indra. Pangeran Diponegoro, bagi dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya pada saat itu adalah obyek yang kongkrit dan empiris. Ia dapat dilihat, diukur sepak terjang perjuangannya, dapat dirasakan hikmah petuah-nya dalam perjuangan bangsa. Tetapi, pada saat ini, meskipun kita dapat membaca sejarahnya melalui buku (penglihatan: indra), ia bukanlah pengetahuan indra bagi pembaca.
Bagi kita dan pembaca sejarah, pada saat ini, Pangeran Diponegoro adalah sebuah wujud konklusif atau hasil penyimpulan akal yang kita kenal melalui proses penalaran dan bukan dengan indra. Konklusifitas seseorang tentang benda-benda atau fenomena sosial selalu didasarkan pada indikator (qara’in), tanda-tanda (ayat) yang dapat dikatakan sebagai aktifitas pengetahuan akal. Berdasarkan indikator dan tanda-tanda itulah seseorang dapat menganalisis, mengkategorisasi dan menyimpulkan.
Ketiga, pengetahuan ma’rifat. Pengetahuan ini merupakan tingkat tertinggi dalam proses pencarian hakikat kebenaran. Pegetahuan pertama dan kedua untuk pemenuhan kebutuhan hidup dan kehidupan sosial kemanusiaan berkaitan dengan tugas kekhalifahan. Sementara, pengetahuan ketiga ini berkaitan dengan pemenuhan hakikat kebutuhan hakiki individu manusia. Pengetahuan ini melibatkan pengalaman langsung dan kesadaran batin yang mendalam tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Nur Kholis