teradesa.com. Setiap 1 Desember para penggiat pencegahan HIV/AIDS, baik dari lembaga maupun komunitas di Indonesia berkumpul untuk menyuarakan urgensi semua pihak peduli terhadap HIV/AIDS, termasuk orang dengan HIV/AIDS (ODHA). sebetulnya terdapat banyak pilihan kepedulian terhadap HIV/AIDS sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya.
Tahun 2022 misalnya tema yang diusung adalah ODHA setara, ODHA berdaya. ODHA tidak bersalah, karenanya tidak ada alasan untuk menjauhinya. Problem utamanya, sampai sekarang masih terdapat diskriminasi terhadap mereka. Diskriminasi yang dirasakan mereka adalah bersifat verbal dan non-verbal
Penulis teringat pada saudara Bagus (almarhum), anak seusia sekolah dasar yang terpaksa drop out (DO), karena sekolah dan para orang tua di sekolah tersebut tidak mau menerima dia. Diskriminasi terjadi disebabkan masyarakat kurang paham tentang HIV/AIDS. Diskriminasi terhadap ODHA juga menyebabkan mereka tidak dapat mengakses sekolah dan pekerjaan. Maka, dapat ditebak kehidupan mereka semakin tidak berdaya.
Hidup dan kehidupan memang tidak selalu hitam-putih, salah-benar, boleh-tidak boleh. Kenyataan di masyarakat memang cukup beragam; baik budaya, agama, sosial ekonomi, tingkat pendidikan, maupun kecenderungan seksual. Disinilah perlunya semua warga masyarakat menyadari terhadap kenyataan keragaman tersebut.
Isu keragaman memang selalu menarik. Apalagi, akhir-akhir ini sering terjadi konflik (vertikal atau horizontal) yang disebabkan masyarakat kurang paham atas realitas keragaman umat dan masyarakat. Untuk itu, dunia pendidikan dan masyarakat perlu mengembangkan model pendidikan kesadaran keragaman bangsa untuk melahirkan generasi yang santun dan toleran.
Misalnya isu waria, gay, dan pernikahan sejenis. Waria, bagi sebagian mereka bukanlah suatu pilihan, tetapi ada juga yang memang merupakan pilihan dengan sepenuh hati. Atau, bahkan karena keterpaksaan.
Beberapa faktor yang menyebabkan mereka melakukan transgender diantaranya adalah; Pertama. Perlakuan orang tua. Perlakuan orang tua terhadap anak di usia balita banyak mempengaruhi persepsi diri anak. Untuk itu, orang tua perlu hati-hati dan mempertimbangkan banyak aspek terutama pada saat memilih pakaian dan berdandan bagi anak-anaknya.
Sebagian orang tua, karena kuat keinginannya untuk mempunyai anak perempuan dan tidak kunjung mendapatkan anak perempuan, kadang membuatnya terlena dan tidak tersadari dengan “mbraeni” anak laki-lakinya dengan berpakaian ala perempuan. Ini merupakan proses awal terbentuknya konsep diri yang masuk kedalam alam bawah sadar anak. Sehingga dalam perjalanan hidupnya kelak terus terobsesi untuk menjadi perempuan.
Kedua, kekerasan seksual lingkungan. Perilaku yang “memaksa” dari orang-orang di sekitarnya, misalnya waktu di kos, pondok pesantren, atau boarding lainnya. Istilah yang populer adalah meiril atau sempet-sempetan. Perilaku ini melahirkan pengalaman yang “manis” di usia yang masih labil, masa pencarian jati diri anak. Pengalaman demikian akan menghantarkannya untuk memilih menjadi gay atau waria.
Ketiga, pengalaman hidup yang pahit dengan pondasi “ketauhidan” yang lemah. Ketertarikannya lari dari dunia riilnya, karena terobsesi dunia happy waria. Bagi pendatang baru, dunia waria diasumsikan sebagai dunia yang selalu happy, menjanjikan suka cita tiada tara, apapun pekerjaannya yang penting happy.
Keputusan untuk melakukan transgender merupakan pilihan yang sepenuh hati. Pertimbangannya dapat dianalisis dari berbagai aspek. Oleh karena itu, menurut penulis dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu; Pertama, cukup dillematis. Sebagian diantara mereka bercerita bahwa pada saat awal memutuskan menjadi waria atau gay memerlukan perjuangan yang amat berat.
Ada pertentangan antara keinginan, batin, kesadaran gender, dan tuntutan orang-orang terdekatnya. Sehingga kadang-kadang mereka yang tidak kuat, akan menangis berhari-hari bahkan berminggu, baru kemudian menemukan keputusan yang melegakan.
Kedua, tidak ada beban sama sekali. Kelompok ini biasanya memang sudah mantap memilih transgender. Hal ini merupakan pilihan yang paling tepat baginya dengan berbagai aspek pertimbangan. Misalnya espektasi sosial, ekonomi, dan lain sebagainya.
Pada dasarnya, ia sadar bahwa pilihan transgendernya adalah diluar kelaziman masyarakat sekitarnya. Ia juga telah mantap untuk menanggapi berbagai cemoohan orang-orang sekitarnya. Baginya setiap kehidupan harus memilih dengan menyadari berbagai resiko dan tanggung jawabnya. Kelompok ini pada dasarnya telah dewasa dalam memilih model kehidupannya di masa mendatang.
Penulis: Cak Nur