teradesa.com. Tiba-tiba dia datang dengan muka muram. Langsung duduk di kamar tamu, tanpa permisi. Kakinya ditekuk di atas kursi tua beralaskan penjalin. Dengan suara agak keras meminta dibuatkan teh hangat. Tanpa pikir panjang, langsung kubuatkan teh hangat. Untung masih ada cam-cam-an teh kemarin sore.
“Min, buatkan teh anget ya”. Pinta lek Anam dengan agak memaksa.
“Kadingaren lek Anam kemari?” Aku cuma basa basi, meski sebetulnya aku kurang senang dengan kedatangannya.
Lek Anam merupakan kang Marbot masjid al-Huda yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Dulu, tanah yang dibangun masjid merupakan waqaf dari kakekku. Jadi, bisa dibilang rumahku selokasi dengan masjid. Aku juga sering dibantu lek Anam, terutama untuk urusan lampu rumah.
“Min, aku ke sini mau pinjam duit. Anak-ku sedang melahirkan. Ini aku mau ke rumah sakit, ga ada motor di rumah”. Lek Anam mencoba menjelaskan kesulitannya.
“Waduh, sepurone lek Anam. Belum bisa minjami uang. Tapi, tidak apa jika lek Anam meminjam motorku untuk ke rumah sakit”. Jawabku, seraya menawarkan pinjaman motor.
Lek Anam mengiyakan, dan, dibawalah motor tua itu. Kulanjutkan pekerjaan di belakang rumah. Membersihkan kebun belakang rumah kulakukan jika ingin saja, itupun hanya di pinggir saja. Karena, aku takut gatal disekujur tubuh. Tanaman di kebun ini merupakan peninggalan dari bapak, ada tanaman; sawo, papaya, dan pisang. Tetapi tidak pernah kujual buahnya.
Beberapa hari lalu buah Sawo dicuri bakol. Modusnya membeli, tetapi tidak dibayar, langsung kabur. Mencuri, tidak hanya marak sekarang ini, tetapi juga sudah ada sejak zaman bahelak. Obyek yang dicuri bisa apa saja, yang penting menguntungkan nafsu keduniawian-nya. Bisa berupa harta, hewan, hasil tanaman, bahkan orang-orang yang tidak berdaya.
Dalam pewayangan Jawa dan India yang diadopsi dari sastra Hindu. Kebiasaan mencuri (gadis) mirip dengan tokoh dari salah satu Kurawa, yang bernama Citraga. Citraga terkenal karena kejahatannya senang mencuri (menculik) gadis-gadis Desa, bersama dua saudaranya; Habaya dan Durkarana. Ketiga Kurawa yang dikomandani Citraga ini selalu membikin onar dan melakukan penculikan terhadap gadis-gadis Desa.
Terdapat simpang siur tentang kematian ketiga tokoh Kurawa ini. Cerita yang paling shohih bahwa kematian Citraga, Habaya, dan Durkarana adalah dibunuh oleh Prabu Salya menjelang perang Baratayuda. Di mana, ketika itu ketiganya kepergok sedang melakukan aksinya di suatu Desa yang jauh dari pusat kerajaan.
Tidak jauh berbeda dengan peristiwa yang kemarin kualami. Adiknya Bu Fransisca yang tempo hari diajak ke rumah. Sebetulnya aku paham bahwa jika Bu Fransisca mau menjodohkan adiknya denganku hanya modus saja. Agar dapat menguasai atau setidaknya aku bersedia menjual tanah di Sumberarum kepadanya.
Adiknya bu Fransisca, entah siapa namanya. Aku lebih suka menyebutnya sebagai Citraga, karena memiliki karakter sama, doyan perempuan. Tadi malam dia juga modusin aku dengan chat-nya yang bagiku tidak patut. Apalagi belum kenal, hanya bertemu sekali bersama Bu Fransisca tempo hari.
“Mimin, gimana kabare? Sejak ketemu waktu itu, aku langsung suka kamu”. Ucapan yang bagiku, ga pantas dari Citraga.
Aku sangat marah. Chat-nya hanya aku baca. Berani-beraninya dia memperlakukanku seperti ini. Meskipun statusku tidak jelas, sejak ditinggal suami. Tetapi aku masih mempunyai harga diri. Ingin rasanya ngepruk kepalanya dengan batako.
Mataku berkaca-kaca. Begitu banyak fitnah yang kualami akhir-akhir ini. Sepupuku sudah memakiku dan menuduhku menjual diri. Sekarang ditambah perlakuan adiknya bu Fransisca, yang kentir, bak Citraga. Hatiku terasa diiris-iris dengan pisau yang ga tajam, suuuuuaakit sekali. Kepada siapa lagi aku minta tolong. Aku menjerit sejadi-jadinya di kamar.
Sepertinya ada yang mengetok-ngetok pintu. Kubuka pintu rumah. Ya Allah ya Karim. Belum kering air mataku, ternyata Citraga yang datang. Luapan marahku kulampiaskan kepadanya. Biar tidak kupersilahkan masuk rumah. Cukup di depan pintu. Dia ingin maksa masuk rumah, tapi segera kucegah dengan kemampuan fisikku yang ringkih ini.
“Min, kamu cantik. Jika kau kujual maka harganya sangat tinggi. Berbeda dengan lainnya”. Dasar Citraga, ga berperasaan. Orang seperti ini yang katanya Bu Fransisca pegawai Pemda. Aku tidak percaya! Ndak punya etika dan unggah-ungguh.
Kejadiannya ini langsung kesampaikan ke adikku, Andika. Melalui chat di HP Andika menjawab akan segera mengirim anggota untuk menangkapnya. Tidak lama kemudian, si Citraga dibawa ke Mapolres untuk diinterogasi.
Beberapa waktu kemudian, aku mendapat surat dari Mapolres untuk dimintai keterangan. Dan, aku diminta untuk menandatangi BAP penangkapan terhadap Citraga. Aku langsung setuju agar dia di-sel di Mapolres. Pada saat aku pamit pulang kepada pak Polisi, tiba-tiba secepat colt diesel, tanganku dipegang sekuatnya oleh Citraga dengan nada ancaman.
Aku tidak menghiraukannya. Bahkan aku langsung menjerit. Untung pak Polisi langsung sigap melerainya. Sehingga aku tidak sampai terluka. Jika tidak segera dilerai, mungkin tanganku yang kecil ini patah diuklek-uklek Citraga, si Buto ijo.
#8 cerbung, by Cak Nur