teradesa.com. Semua unsur dalam alam jagad raya memiliki ruh. Manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda lainnya. Mereka selalu bergerak sesuai dengan garis edarnya masing-masing. Tugas manusia adalah menyelaraskan dengan semua unsur alam jagat raya itu. Karenanya, tugas kehidupan sejatinya bukan untuk saling meniadakan satu diantara lainnya.
Masyarakat Bali mempercayai bahwa semua unsur dalam alam semesta ini memiliki kekuatan yang tersembunyi didalamnya. Semua tumbuh-tumbuhan yang ada di hutan, dan yang tumbuh di sekitar rumah juga memiliki kekuatan. Oleh karena itu, ia perlu dijaga dan dihormati agar kekuatan tersebut dapat berguna untuk hal-hal yang baik bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya.
Bentuk penghormatan ini dimanifestasikan oleh masyarakat Bali dalam bentuk perayaan Tumpek Wariga. Menurut bu Dayu bahwa perayaan Tumpek Wariga merupakan manifestasi ucapan syukur dan terima kasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala berkah dan anugerah yang diberikan dalam bentuk pepohonan atau tumbuh-tumbuhan yang berdaun rindang dan berbuah lebat, serta menghasilkan oksigen yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Selain itu, menurut bu Dayu lebih lanjut bahwa perayaan ini dimaknai oleh warga Hindhu Bali sebagai sarana untuk menjaga agar kekuatan yang dimiliki oleh tumbuh-tumbuhan dapat berguna untuk hal-hal yang baik dalam kehidupan sehari hari. Mereka juga mengharapkan agar pohon-pohon dan tumbuhan-tumbuhan tersebut dapat menghasilkan buah yang lebat sehingga berguna sebagai sarana sembahyang ketika merayakan Hari Raya Galungan.
Upacara Tumpek Wariga juga dapat disebut sebagai upacara Tumpek Uduh, Tumpek Bubuh atau Pengatag. Waktu pelaksanaan upacara ini dilaksanakan pada setiap enam bulan sekali, yaitu pada hari Saniscara (Sabtu Kliwon), wuku Wariga (penanggalan Hindu), 25 hari sebelum dirayakannya Hari Raya Galungan. Namun demikian, kadang terdapat perbedaan antara satu Desa dengan lainnya. Perbedaan ini sering karena masing-masing Desa menyesuaikan dengan konsep Desa Kala Patra (penyesuaian tempat dan waktu).
Masyarakat Hindu Bali masih berpegang teguh dengan tata cara yang tertulis dalam Kitab Sundarigama. Pada kitab tersebut, disebutkan bahwa yang dibutuhkan dalam upacara Tumpek Wariga diantaranya adalah peras, tulung, dan sayut, bubur sumsum, tumpek agung, penyeneng, babi guling atau itik guling yang digunakan sebagai ulam atau daging, serta sayur caleragni dan tetebus.
Setelah seluruh kebutuhan untuk upacara telah terpenuhi, selanjutnya mereka melakukan upacara dengan menghadap arah barat laut sesuai dengan arah Sanghyang Sangkara dalam Dewata Nawa Sanga, sambil mengucapkan mantra. “Kaki-kaki, dadong dija? Dadong jumah gelem kebus dingin ngetor. Ngetor nged-nged-nged-nged, nged kaja, nged kelod, nged kangin, ngeed kauh, buin selae lemeng Galungan, mebuah apang nged.”
Artinya, kakek-kakek, nenek di mana? Nenek dirumah sakit panas mengigil. Mengigil lebat-lebat-lebat-lebat, lebat di utara, lebat di selatan, lebat di timur, lebat di barat, lagi dua puluh lima hari hari raya galungan, berbuahlah dengan lebat.
Terakhir, larangan-larangan dalam melakukan upacara Tumpek Wariga yang harus diperhatikan diantaranya tidak melakukan hal-hal berikut ini; memotong pohon, memetik buah, bunga, serta daun. Makna dari pantangan ini adalah diharapkannya masyarakat Hindu Bali bersikap dan berperilaku selalu memberi keseimbangan hidup antara manusia dengan alam. #Nur Kholis.