teradesa.com. Nikmat pemberian dari Allah memang tiada habisnya. Bahkan, kalau kita sempat berfikir untuk menghitung pemberian nikmat dari Allah pasti tidak akan bisa, dan memang tidak akan bisa. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, dari ujung kepala sampai ujung kaki, semua merupakan pemberian nikmat dari Allah.
Tapi ada juga pemberian nikmat dari Allah ini yang justru menjadi sebuah bencana jika kita tidak bisa menjaganya, salah satunya adalah lisan. Sampai ada istilah “mulutmu adalah harimaumu”. Makanya tidak heran zaman sekarang banyak sekali kita melihat ujaran di sosmed yang terkadang membuat kita bingung karena tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah, karena saking manisnya ujaran yang disebarkan sehingga semuanya tampak benar.
Ini bukanlah hal baru, semenjak dahulu para nabi juga sering mendapatkan cacian dan ujaran hasutan dari musuh-musuhnya yang mana hal tersebut berdampak pada tragedi murtad terbesar dalam Islam karena saking liciknya orang-orang pada saat itu bersilat lidah mencari celah. Hal ini sudah dijelaskan dalam firman Allah Swt.
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِىٍّ عَدُوًّا شَيَٰطِينَ ٱلْإِنسِ وَٱلْجِنِّ يُوحِى بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ ٱلْقَوْلِ غُرُورًا
Artinya:
“Dan demikianlah untuk setiap nabi kami menjadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan”. QS Al-an’am 112.
Banyak cerita dari orang-orang Yahudi yang berusaha untuk memusuhi Nabi dengan menggunakan dalil akal dan mencari celah hukum Islam didalamnya. Seperti misalnya dalam masalah hukum halal-haram, diriwayatkan didalam suatu hadis bahwa ketika Nabi Muhammad SAW ditanya oleh orang Yahudi mengenai bagaimana hukumnya memakan hewan yang mati sendiri (tanpa disembelih oleh manusia), mereka bertanya tentang siapa yang membunuhnya.
Nabi menjelaskan dengan menjawab bahwa yang mematikan hewan tersebut adalah Allah, dan hukumnya haram. Mendengar jawaban tersebut, orang Yahudi membalikkan jawaban dengan pernyataan “Agamamu aneh Muhammad, hewan yang mati sendiri dan dimatikan Tuhan kok malah haram, sedangkan yang lewat perantara manusia kok halal”.
Logika kalangan Yahudi yang ditanamkan kepada orang Islam waktu itu, harusnya hewan yang mati sendiri (dimatikan oleh Tuhan), itu hukumnya halal. Alasan logisnya, bahwa kematian ini dikehendaki sendiri langsung dari penciptanya, tanpa perantara manusia, lebih original. Secara tidak langsung, umat Muslim dengan keimanan yang lemah akan terpengaruh oleh ucapan orang Yahudi tersebut. Kasus-kasus senada juga dikasihkan dalam buku-buku sejarah kenabian, misalnya saja didalam kitab Raudhatul Anwar Fi Shirah Nabawiyah Al-Muktar dan Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa tidak ada tragedi murtad terbesar kecuali dalam tragedi nasikh dan Mansukh.
سَيَقُولُ ٱلسُّفَهَآءُ مِنَ ٱلنَّاسِ مَا وَلَّىٰهُمْ عَن قِبْلَتِهِمُ ٱلَّتِى كَانُوا۟ عَلَيْهَا ۚ قُل لِّلَّهِ ٱلْمَشْرِقُ وَٱلْمَغْرِبُ ۚ يَهْدِى مَن يَشَآءُ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Artinya: “Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?” Katakanlah: “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus“. QS Al-Baqarah: 142
Selanjutnya, seperti yang termaktub dalam kitab Ibnu Katsir QS. An-Nahl 10:11, dalam peristiwa pemindahan kiblat hingga tiga kali, yaitu yang pertama, Ka’bah di Mekkah sebagai kiblat awal manusia, kemudian ketika nabi hijrah di Madinah, kiblat dipindah ke Baitul Maqdis kurang lebih selama 16 bulan, kemudian dipindah kembali ke Makkah.
Hal ini menjadikan orang-orang Yahudi memutarbalikkan kata dengan menghasut umat muslim dengan ucapan: “Lihatlah orang yang kalian jadikan panutan, hukum kok diganti-ganti, sekarang mengatakan halal besok mengatakan haram, orang bingung kalian jadikan panutan”. Kurang lebih seperti itu ucapan orang-orang Yahudi yang diucapkan kepada orang-orang Islam. Mereka berusaha menggoyahkan keyakinan pemeluk agama Islam pada waktu itu dengan permainan logika yang dianggap benar dan masuk akal.
Dalam konteks lain, di era sekarang ini kita akan sangat mudah menemukan banyak orang yang pintar bernarasi indah dalam meyakinan masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Sebagai contoh, orang akan lebih tertarik (terbujuk) ketika melihat poster agen travel umroh & haji yang di dalamnya terselipi dalil bahwa ibadah sholat di Masjid Nabawi lebih baik 1000x lipat dibanding sholat di masjid biasa, daripada ketika melihat agen tour travel liburan. Pada akhirnya, setiap upaya bisnis atau agenda apapun berniat menipu orang dengan menggunakan dalih atau doktrin agama.
Seperti akhir-akhir ini sempat viral di media sosial ada seseorang yang mengaku orang alim, mendasarkan dalil-dalil dari tuhan atau agama agar bisa menyembuhkan penyakit tak kasat mata dan mendapat pasien lebih banyak. Hasilnya memang benar dan terbukti banyak orang yang terhasut oleh penampilan dan ucapannya yang terlihat baik, bernas dan tampak religius.
Bukanlah suatu hal yang baru lagi di Indonesia, kejadian seperti ini sering terulang tapi entah kenapa masih banyak masyarakat menjadi korban penipuan dan terhasut oleh ucapan-ucapan mereka. Bahkan anak muda dari kalangan mahasiswa juga sering terhasut oleh pengaruh-pengaruh radikalisme yang membuat mereka berani menentang NKRI, juga tidak segan mencap kafir kepada semua orang yang tidak termasuk ke dalam golongannya.
Hal ini terjadi ketika banyak dari anak muda yang mulai ingin belajar agama, ternyata mereka mendapatkan sumber atau guru yang salah. Rasa keingintahuan mereka sangat tinggi namun tidak diimbangi dengan keberadaan guru atau teman baik yang mendampingi untuk menggali wawasan keagamaan. Kemudian masuklah orang-orang yang tidak bertanggung jawab ini mengambil kesempatan dengan ucapan-ucapan yang indah, bahasa sederhana, gaul dan kekinian dan mudah dipahami oleh mereka, namun sarat penyesatan dan tidak bersumber dari pemegang otoritas keilmuan agama yang baik dan tepat.
Dengan bekal pondasi agama yang kurang, atau bahkan kosong hal ini sering menjadi celah bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk memberikan doktrin radikalisme kepada anak muda. Maka dari itu kita sebagai anak muda jangan sampai mudah terpengaruh dengan ucapan ucapan orang yang belum terlalu kita kenal bagaimana latar belakangnya, background keilmuannya. Mari belajar agama kepada guru yang kita ketahui latar belakang pendidikannya dengan jelas dan baik.
Jangan sampai belajar agama secara mandiri tanpa guru, apalagi tanpa bekal perangkat ilmu yang memadai seperti Bahasa Arab, atau ilmu-ilmu dasar agama Islam lainnya. Tanpa ilmu pendukung ini, hasil pembelajaran agama secara mandiri bisa fatal dan rawan gagal paham. Ibaratnya, kita mencari suatu alamat yang dituju tanpa bekal informasi awal yang baik dan tanpa perangkat pendukung yang tepat. Bisa dipastikan kita susah mancapai alamat tujuan bahkan tersesat arah. Naudzubillah min dzalik.
Penulis: Muhammad Irfan Kusbianto, Mahasiswa Prodi BSA UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung semester 7.