teradesa.com. Beberapa hari lalu saya iseng mengikuti keinginan hati pergi ke Desa Gambiran Kecamatan Pagerwojo Kabupaten Tulungagung. Pikirku, sekalian merefresh kenangan di tahun 1990an (udah lama banget ya) ketika mengikuti kegiatan pramuka. Dalam bayanganku, desa tersebut dulu sangat mengesankan, betapa tidak, terdapat sungai yang dialiri air deras dan jernih dengan bebatuan besar, sejuk dan indah sekali. Saya ingat, saat itu naik ke gunung, sebelah utara sungai, sampai di atas diberi makan nasi jagung oleh penduduk setempat.
Itu dulu, dalam perjalanan, sesampai di ujung desa Gambiran, saya berhenti untuk membeli kopi di warung pinggir jalan. Ya, memang perjalananku ini tidak ada tujuan, hanya sekedar jalan-jalan. Penjual kopi, namanya, mbah Raminten, bercerita bahwa saat masih muda, suaminya adalah lurah. Dan, sekarang anak-anaknya tidak ada yang di desa. Semua sudah sukses bekerja di beberapa kota besar. Mengapa dia berjualan kopi? Padahal anak-anaknya sukses?
Sebetulnya, anak-anaknya melarang. Tetapi, bagi mbah Raminten, katanya, “bekerja adalah kebahagiaan”. Kebahagiaan dimaknai sebagai suatu kodrat manusia. Karena, memang manusia diciptakan untuk bahagia. Bagaimana caranya?, pertanyaanku. “Ya, berbuat baik, berfikir baik, dan bersikap baik”, jawab mbah Raminten. Bekerja, dan terus bekerja sesuai kemampuan adalah kebaikan. Oleh karena itu, sampai tua-pun mbah Raminten tetap bekerja.
Nah, ini adalah menarik. Kebahagiaan adalah tujuan semua orang. Banyak orang yang rela bekerja keras dan bekerja taktis, bahkan sampai bekerja secara tidak halal—semuanya yang dicari adalah kebahagiaan. Memang setiap orang berhak untuk mendefinisikan bahagia dan mewujudkannya, tentu. Sebagian mendefinisikan bahagia ketika hidup mewah dan serba terbeli. Sebagian lainnya bahagia ada dalam hati, betapapun kondisi ekonominya, masih tetap bisa bahagia. Ya, silahkan saja membangun makna dan mewujudkan kebahagiaan itu.
Plato, misalnya, berpandangan bahwa kebahagiaan tertinggi itu hanya terletak pada jiwa, bukan jasad. Sehingga kalau jasad dan jiwa masih melekat pada tubuh yang kotor, dan berbagai kepentingannya, serta menyatu dengan berbagai kepentingan jasad, berarti jiwa belum benar-benar bahagia. Artinya bagi Plato, kebahagiaan yang benar-benar baru bisa dirasakan manusia adalah di akhirat kelak.
Begitu halnya, filosof Islam, al-Kindi, lebih mengamini makna kebahagiaan dari Plato ketimbang Aristoteles. Menurutnya kebahagiaan hakiki dan pengetahuan sempurna tidak akan ditemukan selama ruh (jiwa) berada di badan. Setelah berpisah dari badan, Ruh akan langsung pergi ke “alam kebenaran” atau “alam akal” di atas bintang-bintang, berada di lingkungan cahaya Tuhan dan dapat melihat-Nya.
Di sinilah letak kesenangan hakiki Ruh, kata al-Kindi. Namun, jika Ruh itu kotor, ia akan pergi terlebih dahulu ke bulan, lalu ke Merkuri, Mars, dan seterusnya hingga Pluto. Kemudian, terakhir akan menetap kedalam “alam akal” di lingkungan cahaya Tuhan. Dengan demikian, bahagia tidaknya seseorang, ruh-lah yang dapat merasakan dan mengirimkan sinyal kepada pemiliknya, bahagia atau tidak bahagia.
Kebaikan mengandung kebahagiaan. Seseorang yang melakukan kebaikan karena ia tahu kebaikan adalah suatu keniscayaan bagi manusia (kodrati). Bukan karena apa-apa, atau karena ada apa-apanya dibalik kebaikan itu. Maka ia akan merasakan kebagiaan. Begitulah kira-kira konsep dasar kebahagiaan menurut al-Farabi. Kebahagiaan mensyaratkan kebaikan, pada aspek berfikir, bersikap, dan berperilaku. Misalnya, jujur, ikhlas, rendah hati, suka menolong, atau rajin. Tujuannya adalah ingin bahagia, tidak ada lagi yang diinginkan kecuali hanya kebahagiaan.
Selain sebagai tujuan bagi manusia, kebahagiaan bagi manusia hakikatnya adalah juga merupakan tujuan penciptaannya. Nilai, norma, dan aturan-aturan dalam Islam sesungguhnya bukan membatasi gerak dan keinginan manusia, tetapi justru, dengan jalan itu (aturan) manusia dapat menemukan kebahagiaannya. Ini, sangat berkaitan dengan sifat Tuhan, Maha penyayang dan Maha adil.
Tuhan menghadirkan manusia, dan menciptakan Alam semesta adalah disediakan untuk kebahagiaan manusia. Alam, dengan segala unsur didalamnya harus dijadikan obyek kajian, penelitian, dieksplorasi, dan dimanfaatkan untuk kebutuhan primer dan skunder manusia. Tidak ada penciptaan Tuhan di alam semesta yang tidak ada manfaatnya. Semua memiliki kemanfaatan untuk menunjang tercapainya kebagiaan manusia. Termasuk, didalamnya aturan (syariah) dibuat, dipermudah dan disederhanakan.
Penulis: Nur Kholis